Gambaran Jahatnya Sektor Non-Riil Terhadap Ekonomi Indonesia Di Kala Pandemi

Last Updated: 2 Mei 2021By

Oleh: Pujo Nugroho

Assalim.id – Dalam tiga bulan pertama tahun 2021 ini daya beli masyarakat masih amat berat. Bukannya naik, daya beli bahkan semakin menurun dari bulan ke bulan. Hal ini menunjukkan betapa kemampuan ekonomi masyarakat sangat lemah. Lemahnya daya beli ini bisa dilihat dari rendahnya inflasi sesuai data BPS.

“Memang terpantau terjadi penurunan inflasi dari awal tahun hingga bulan Maret 2021,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto (nasional.kontan.co.id, 1/4).

Inflasi menunjukkan turunnya permintaan (demand). Sekaligus memunjukkan turunnya daya beli.

Selama pandemi mobilitas penduduk berkurang akibat kebijakan pembatasan sosial, roda perekonomian kemudian bergerak lambat, dan hal itu berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Dan pada akhirnya berpengaruh kepada lemahnya permintaan.

Namun demikain, mestinya hal ini tidak terlalu bepangaruh pada masyarakat ekonomi menengah. Dengan saving dana (tabungan) yang mereka miliki mestinya kemampuan daya beli mereka masih terjaga.

Namun sayang, kalangan ekonomi menengah menahan dananya tidak berbelanja. Padahal mereka berkontribusi hingga 80 persen konsumsi rumah tangga di struktur ekonomi Indonesia. Di sisi yang lain masyarakat ekonomi lemah sangat membutuhkan perputaran uang di tengah masyarakat hingga bisa menggerakkan roda perekonomian.

Menahan dana tidak melakukan spending (belanja) dan kebijakan pembatasan sosial membuat banyak sektor lumpuh. Ada sebanyak 50 persen UMKM gulung tikar (merdeka.com, 9/10/2020). Sebanyak 30 juta UMKM yang bangkrut (republika.co.id, 26/3/2021) sebagai dampak pandemi.

Jika kalangan ekonomi menengah menahan belanja, lalu kemana dana mereka berada? Jawabnya adalah disalurkan ke sektor non-riil.

Di sinilah bobroknya sistem kapitalisme. Dana-dana yang ditahan tidak dibelanjakan tetap disimpan pada tabungan-tabungan dengan sistem bunga perbankan. Baik berupa tabungan dan deposito.

Selain produk perbankan, dana disalurkan ke instrumen investasi, yaitu berupa reksadana, membeli saham di pasar modal (bursa saham), bermain valuta asing (valas), atau seperti yang lagi trending investasi uang crypto. Dan selama pandemi instrumen-instrumen ini semakin meningkat.

Menurut catatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) jumlah rekening simpanan pada bulan Januari 2021 mengalami kenaikan 16,4% secara year on year (yoy) (kontan.co.id, 7/3/2021)

Untuk investasi pasar saham, minat investor khususnya milenial meningkat dua kali lipat (kompas.com, 22/12/2020).

Bahkan menurut data investor di sektor uang crypto (bitcoin dll) meningkat melebihi investator di bursa saham (cnbcindonesia.com, 20/4/2021).

Untuk produk perbankan seperti tabungan dan deposito, tentu bank akan memberikan imbal hasil berupa bunga. Pertanyaannya, lalu dari mana bank bisa memberikan sharing kepada para penabung ini? Dari sektor riil!

Di sinilah jahatnya sektor non-riil. Jahatnya sistem ekonomi kapitalisme! Uang banyak diputar di sektor non-riil namun mengambil keuntungan di sektor riil dengan menarik bunga.

Para pelaku usaha sektor riil yang mengambil pinjaman di perbankan menjadi sasaran untuk “diambil” keuntungannya “dibagikan” kepada sektor non-riil sebagai profit share para nasabah penabung. Padahal di sisi yang lain ekonomi masih sangat berat.

Dalam Islam umatnya dilarang menahan uang tanpa ada tujuan. Allah ta’ala berfirman:

“… Agar harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (TQS al Hasyr: 7)

Islam menyuruh umatnya untuk membelanjakan uangnya atau diputar di sektor riil, apakah membuka usaha sendiri atau bersyirkah dengan pihak lain.

Dalam Islam ada larangan kanzul mâl yaitu menimbun harta. Menahan uang tanpa ada alasan. Bahkan menahan harta (emas dan perak) dengan tujuan mendapatkan keuntungan ketika kenaikan harga (profit gain).

Islam tetap membolehkan umatnya menabung. Yaitu menyimpan uang dengan tujuan tertentu yang pada waktunya dikeluarkan untuk dibelanjakan, semisal untuk pendidikan, mengumpulkan modal untuk usaha, kesehatan, atau lainnya. Selain dari itu Islam meminta umatnya untuk berbelanja dan/atau menjalankan usaha sektor riil.

Inilah keluhuran sistem ekonomi Islam yang hikmahnya mampu menjaga roda ekonomi terus berputar. Membantu sesama masyarakat untuk tetap terus bisa menjalankan usaha.

Bahkan di dalam Islam dikenal juga konsep tabarru’, yaitu saling menolong kepada sesama dengan melibatkan harta yang mereka miliki tanpa kompensasi. Ada qardh (utang piutang), hibah dan hadiah, waqaf, shadaqah, ‘ariah (pinjaman barang), dan lainnya.

Bahkan ada hawalah yakni pengalihan beban utang dari pengutang kepada pihak lain yang menanggung. Kebiasaan ini ada di masyarkat Turki Utsmani menjelang Hari Raya. Orang-orang kaya mencari kalangan tidak mampu dan membayarkan utangnya.

Semua dilakukan dengan mengeluarkan uang hingga terus beredar di tengah masyarakat.

Terhentinya roda ekonomi sangatlah destruktif. Membahayakan pelaku ekonomi yang tidak lain adalah masyarakat luas. Betapa banyak kita tangkap dari media akibat ekonomi yang terpuruk ini berupa kemiskinan, putus sekolah, perceraian, meningkatnya kejahatan, juga membahayakan negara.

Demikianlah sektor non-riil penopang sistem ekonomi kapitalisme yang membuat ekonomi kita berkutat pada masalah.[]