Gagal Bayar, Risiko Sistem Keuangan Ribawi
Aliansi Pengusaha Muslim – Kehidupan yang diatur dengan sistem yang ribawi hari ini memang penuh dengan risiko. Di antara dari sekian banyak risiko yang menghantui industri keuangan adalah masalah gagal bayar. Seperti ramai diberitakan, di tengah kesulitan dalam memitigasi ekonomi nasional akibat Covid-19, menyeruak kasus gagal bayar yang menerpa dunia industri keuangan tanah air.
Direktur PT. PEFINDO Hendro Utomo mengungkapkan bahwa ada peningkatan profil risiko di industri keuangan selama pandemi Covid-19 ini. Peningkatan risiko itu terutama terjadi untuk industri perbankan dan pembiayaan non-bank. Hal ini tercermin pada pemberian peringkat pada semester I 2020, yaitu ada emiten yang ratingnya dipangkas atau diturunkan. (tempo.co, 11/7/ 2020).
Maraknya masalah gagal bayar pada industri keuangan disinyalir kuat disebabkan oleh masalah pada tata kelola industri keuangan yang buruk. Lembaga Pemeringkat Fitch Ratings dalam laporannya (10/7) berharap regulator memperkuat peraturan dan pengawasan karena adanya kelalaian skandal baru-baru ini. (bisnis.com, 10/7/2020).
Masalah likuiditas pada perbankan dan gagal bayar klaim pada asuransi menjadi bukti bahwa industri keuangan konvensional berisiko bagi krisis finansial. Ditambah lagi dengan buruknya tata kelola sehingga membuat sistem keuangan semakin tidak stabil. Hal ini merupakan kerusakan bawaan (self-destructive) dari sistem keuangan tersebut.
Kesalahan yang paling pokok dalam sistem keuangan konvensional adalah keuangan ribawi. Sistem keuangan konvensional memang tidak bisa lepas dari penghimpunan modal dalam format utang dan bunga. Mulai dari pengadaan modal usaha, pengelolaan keuangan, hingga menjadi industri finansial. Bahkan, negara sekalipun menjadikan utang sebagai solusi dalam menambal defisit APBN.
Selain sumber modal bagi debitur, utang juga menjanjikan interest (bunga) kepada kreditur. Dalam pembangunan ekonomi nasional utang sering dijadikan sebagai instrumen untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Melalui teori dua-jurang, instrumen utang dijadikan sebagai pembentukan modal domestik. Besarnya peranan utang dalam sistem keuangan konvensional menjadikannya layak disebut sistem keuangan ribawi.
Masalah gagal bayar ini sangat rentan memicu pada risiko sistemik. Alasannya, ketidakpastian dan kompleksnya masalah pada sektor keuangan sangat mungkin dapat memicu krisis finansial, sehingga menjalar pada sektor riil, sosial dan politik. Begitu banyak variabel yang dapat mengantarkan sistem neoliberalistik dan kapitalistik ini pada kejatuhan ekonomi. Variabel yang paling pertama dan utama adalah utang berbunga.
Di dalam sistem Islam pembentukan modal bukanlah dari utang, melainkan dari akad usaha antara pemodal dengan pengelola modal. Sehingga, dalam skala mikro sistem keuangan Islam tidak perlu
analisis rasio utang dan bunga. Karena pembentukan modal perusahan bukan dari utang dan bunga. Dalam skala makro, tidak perlu penghitungan ‘Debt Service Ratio’. Sebab, perekonomian negara memang tidak bergantung pada utang luar negeri.
Begitu mulia dan bahagianya menjadi pengusaha di dalam sistem keuangan yang Islami. Karena, sistem keuangan Islam tumbuh bersama keleluasaan, keahlian, dan amanahnya para pengelola keuangan. Sistem yang diridhoi Allah SWT tersebut tidak akan pernah menjerumuskan para pengusaha pada praktek yang berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Sehingga keseimbangan dan kestabilan senantiasa dapat diwujudkan.
Sebaliknya, obsesi materialistik sangat kental dalam sistem keuangan yang neoliberalistik dan kapitalistik. Obsesi mengejar keuntungan materi yang setinggi-tingginya telah melahirkan persoalan sosial dan ekonomi yang jauh lebih besar. Wajar jika para kapitalis yang rakus dan tamak terhadap riba tersebut dimaklumati perang oleh Allah dan Rasul-Nya (QS. Al Baqarah: 279). Wallahu a’lam. [] Muhammad Bakri