
Penulis : AA Salim
Ibarat rakyat Ukraina yang mengalami syok saat dijatuhi bom secara tiba tiba,
Begitu pula yang diderita oleh rakyat Indonesia yang merasakan syok parah akibat kenaikan harga yang bertubi-tubi. Mulai dari kenaikan komoditi pokok, komoditi pangan hingga komoditi energi.
Kita telah saksikan kenaikan harga minyak goreng yang penuh drama, disusul kenaikan PPN 11% yang mengerek kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dilanjutkan pada 1 April 2022, Pertamina telah menaikkan harga Pertamax dari sebelumnya kisaran Rp 9.000 sampai Rp 9.400 per liter, menjadi Rp 12.500 sampai Rp 13.000 per liter. Kenaikan ini pun tentu akan menggerus daya beli masyarakat.
Belum cukup, pemerintah telah merencanakan dan mengkaji bahwa akan ada kenaikan harga komoditi pertalite dan LPG melon 3 kg yang tinggal diketok palu saja. Euforia kebijakan kenaikan harga-harga ini sudah pasti berdampak kepada tingginya inflasi di masa recovery ekonomi pasca pandemi.
Di mana banyak ekonom dan pengamat mengungkap ketidaktepatan kebijakan itu apabila diambil saat ini. Karena diduga kuat, akan berdampak secara ekonomis dan psikologis bagi masyarakat. Kondisi ini akan memicu panic buying dan kelangkaan komoditi pertalite dan LPG di pasaran.
Kuota Naik, Subsidi Naik.
Setelah bertransformasi secara bertahap sejak 2015 dari premium ke pertalite, hinga konsumsinya saat ini mencapai 80%. Begitu juga transformasi minyak tanah ke LPG 3 kg semenjak 2007, dua komoditi ini terus disubsidi. Pemerintah Indonesia dipastikan akan menanggung subsidi yang cukup besar dari dua jenis Bahan Bakar Minyak (BBM), Solar dan Pertalite, bahkan juga untuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 Kilo gram (kg). Seiring dengan meningkatnya Quota Konsumsi rakyat negeri ini.
Subsidi BBM dan LPG yang akan ditanggung oleh pemerintah akan lebih besar dalam waktu dua bulan ini, di mana harga minyak dunia masih nyaman bertengger di atas level US$ 100 per barel. Sementara pemerintah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) pada Maret 2022 sebesar US$ 113,50 per barel.
ICP ini tentunya jauh dari asumsi harga minyak dalam APBN 2022 yang hanya US$ 63 per barel. Dengan kondisi ini maka seolah wajar bila harga Pertalite akan dinaikkan bertahap karena jauh dari harga keekonomian dan dikatakan masih lebih murah dibanding harga di Eropa, Asia bahkan Asean. Benarkah?
Subsidi Malah Membebani, Bukan Melayani!
Pemerintah sudah mati langkah. Menaikkan harga menjadi satu-satunya pilihan dalam menyehatkan APBN yang lelah. Sudah menjadi watak model ekonomi kapitalis, subsidi dianggap sebagai beban negara bukan bagian dari pelayanan atau riayah negara kepada rakyatnya.
Rakyat diminta bersabar dan memaklumi kondisi yang ada, sementara alokasi anggaran APBN selama ini lebih besar untuk proyek pencitraan penguasa dan keuntungan lingkaran di sekitar mereka.
Parahnya lagi, di tengah himpitan kenaikan harga-harga tadi, masih sempat-sempatnya penguasa negeri ini marah-marah sendiri dengan kebijakan yang dijalankan. Kemudian menyalahkan bawahannya, seolah “berlagak pilon” kalau kata orang Betawi. Tentu hal itu dianggap prank dan lelucon.
Pandangan Islam dalam Pengelolaan dan Distribusi Migas
Dalam perspektif Islam, bahan tambang yang jumlahnya melimpah seperti minyak dan gas adalah termasuk harta kepemilikan umum (public ownership). Status sah kepemilikannya adalah milik rakyat, tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, terlebih kepada asing. Pengelolaannya dilakukan oleh negara, sedangkan pemanfaatannya digunakan untuk kemakmuran rakyat seluruhnya.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi saw., berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Daud).
Adapun larangan dikuasainya harta milik rakyat yang jumlahnya melimpah oleh individu, swasta, apalagi asing adalah berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy,
“Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’.” (HR Tirmidzi)
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam bukun Al-Amwal fi Daulah Khilafah, tindakan Rasulullah saw. yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut memiliki deposit yang sangat banyak dan tidak terbatas.
Zallum menulis bahwa hal ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memilikinya karena hal itu merupakan milik seluruh kaum muslim. Menurutnya, larangan tersebut tidak terbatas pada (tambang) garam saja, melainkan cakupannya umum, yaitu meliputi setiap barang tambang apa pun jenisnya, asalkan memenuhi syarat bahwa barang tambang tersebut jumlah/depositnya laksana air yang mengalir, yakni tidak terbatas.
Sedangkan pemanfaatan minyak dan gas, di mana jenis harta ini adalah milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh umat, dan mereka berserikat di dalamnya maka setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya.
Adapun pengelolaannya, karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya yang membutuhkan perangkat maka negara lah yang mengambil alih pengelolaannya mewakili kaum muslim.
Negara kemudian menyimpan pendapatannya di baitulmal. Setelah itu, dilakukan pendistribusian hasil dan pendapatan negara sesuai dengan ijtihad Khalifah yang dijamin oleh hukum-hukum syarak dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.
Pendapatan ini digunakan untuk membiayai segala proses operasional produksi minyak dan gas, pengadaan sarana dan infrastruktur, riset, eksploitasi, pengolahan, hingga pendistribusian ke setiap SPBU. Termasuk juga untuk membayar seluruh kegiatan administrasi dan tenaga karyawan, tenaga ahli, dan direksi yang mengelolanya.
Khilafah juga terus menjaga suplay dan deman kebutuhan energi umat agar tidak terjadi kegoncanagan harga diantaranya bisa dengan membuat kebijakan untuk membangun sistem energi hijau yang ramah lingkungan, murah dan bersih seperti nuklir atau panas bumi dengan mengikuti perkembangan sains dan teknologi. Namun, tujuannya semata-mata untuk mencukupi terpenuhinya kebutuhan energi rakyat dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Bukan seperti sistem kapitalisme yang memiliki motif utama untuk kepentingan ekonomi bagi segelintir pihak saja. Wallahualam.