Drama Mencekiknya Harga Batu Bara Dan Cpo, Bukti Kekuasaan Oligarki Atas Negara

Last Updated: 20 Januari 2022By

Agan Salim
Fokus Ekonomi

assalim.id Drama tentang krisis pasokan listrik, larangan ekspor batu bara hingga harga CPO yang kian mencekik sepertinya akan berakhir “happy ending” bagi para oligarki. Lihat akhir dari drama pelarangan ekspor batubatu dimana Presiden Joko Widodo seperti tidak mempunyai kuasa atas kebijakan yang telah di putuskannya setelah Menko Maritim dan Investasi membatalkan larangan ekspor batu bara.

Drama tersebut banyak mendapatkan kritikan, salah satunya dari pengamat politik Mustari yang menyampaikan bahwa Pemerintah sudah memutuskan larangan ekspor batu bara untuk persediaan dalam negeri tetapi dibatalkan Luhut. Ini menunjukkan Jokowi tak punya wibawa di depan Luhut,”(SUARANASIONAL.COM 11/1/2022). Bahkan “Para pemilik modal menjadi pengendali negara dan mengabaikan kepentingan bangsa serta rakyat,” jelasnya.

Analisa lebih menohok juga datang Ekonom Senior Faisal Basri yang menilai gerakan politik di Indonesia saat ini erat kaitannya dengan pergerakan di dunia ekonomi. Dalam hal ini, Faisal Basri memberi contoh terkait kebijakan larangan ekspor batu bara yang kembali dilonggarkan. Padahal kebijakan tersebut telah dibuat pemerintah hingga akhir Januari 2022.

Lebih lanjut, Faisal menjelaskan hubungan antara politik dan ekonomi menjadi erat lantaran keduanya sama-sama dikuasai oleh kelompok elite. Dalam persoalan batu bara misalnya, kata ekonom senior ini, para kelompok elit yang memiliki bisnis usaha dapat leluasa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menggerakan kepentingannya di dunia politik. (KNews.id 11/01/2022).

Tak beda jauh dengan batu bara, CPO (Crude Palm Oil) juga mempertontonkan realitas yang sama. Sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar dunia yang memiliki pelaku usaha CPO berskala super raksasa dengan ratusan ribu bahkan jutaan hektar lahan sawit dan pabrik pengelolaannya sedang berpesta pora dengan kenaikan harga.

Namun tidak bagi konsumen minyak goreng terutama yang berskala kecil dan rumah tangga makin kelimpungan dengan harga yang kian mencekik. Terlihat sekali bagaimana menjumbonya pundi-pundi kekayaan para oligarki yang tidak memberikan manfaat signifikan bagi rakyat, malah justru semakin menyengsarakan.

Sejatinya kejadian ini bukan sebab, tapi adalah akibat dari liberalisasi migas dimana pemerintah membuka seluruh rantai supply bagi pengelolaan migas dan sumber daya alam pada pihak swasta. Dalam hal ini, negara tidak lagi memegang peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Negara hanya sebagai regulator yang arah dan tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk memuluskan jalannya liberalisasi di sektor migas.

Akibat turunannya, kontrol negara terhadap harga dan distribusinya menjadi minin bahkan bisa jadi tidak ada, dan semuanya dikendalikan oleh swasta. Dampak yang jauh lebih berbahaya dari Liberalisasi sektor yang penting ini adalah hancurkan kedaulatan energi sebuah negara.

Hal ini sebenarnya bisa diatasi dan dihentikan. Namun, langkah yang harus diambil bukan lagi langkah orang per orang karena masalah ini muncul dari output penerapan sistem, yaitu sistem sekuler kapitalisme liberal yang saat ini di terapkan dan diadopsi.

Sehingga penyelesaiannyapun harus menggunakan pendekatan Ideologis sistem, tidak yang lain. Karena dari sanalah akan lahir cara pandang bagaimana seharusnya sumber daya alam itu di kelola. Kalau kita merujuk kepada sistem Islam dalam hal tata kelola sumber daya alam, maka akan kita dapati sejak zaman dahulu, gas, air dan udara menjadi tugas ‘kenabian’ yang tidak layak diliberalisasi siapa pun.

Sebaliknya SDA harus dilindungi dan diproteksi negara dari tangan-tangan yang mementingkan kelompok atau golongan tertentu. Tidak seperti yang terjadi saat ini. []