Derita Proyek Kereta Cepat Kcjb, Biaya Bengkak, Molor, Dan Utang!

Last Updated: 8 Agustus 2022By

Ulasan Utama Assalim.id
Oleh: Pujo Nugroho

Assalim.id – Seolah tidak ada habisnya, kini muncul lagi problem dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yaitu potensi cost overrun alias pembengkakan. PT Kereta Cepat Indonesia-China atau KCIC menyampaikan bahwa potensi nilai yang ditemukan sekitar Rp2,3 triliun.

Untuk diketahui, nilai pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat yang sudah ditemukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencapai US$1,176 miliar, atau setara dengan Rp16,8 triliun. Hasil temuan tersebut sudah diserahkan kepada Kementerian BUMN pada Maret 2022.

Atas pembengkakan ini pihak China meminta agar pembengkakan biaya ditanggung oleh pemerintah Indonesia melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hal ini diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo dalam konferensi pers, Selasa (26/7/2022).

“Beberapa waktu lalu disampaikan adanya cost over run. Tentang cost of run ini setahu saya masih dibahas. Karena ada permintaan cost over run ini agar dicover oleh pemerintah Indonesia,” terangnya (CNBCIndonesia.com, 26/7/2022).

Pembengkakan ini menjadi problem baru dari sekian banyak problem proyek KCJB ini. Dari awal proyek ini penuh kritik sejak perencanaan, penunjukan China yang menyisihkan Jepang. Bahkan, Ignasius Jonan yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan, secara terang-terangan menolak pembangunan kereta cepat penghubung dua kota tersebut.

Belum lagi, transportasi Jakarta dan Bandung selama ini sudah dianggap baik dengan keberadaan Tol Cipularang serta sudah dilayani kereta reguler, KA Argo Parahyangan. Parahnya lagi ternyata pemberhentian tidak sampai Bandung melainkan hanya sampai Padalarang.

Molor dari Target dan Menjadi Beban APBN
Sebagaimana diketahui proyek ini berulang kali molor dari target. Pemerintah pada awal pembangunan KCJB menargetkan proyek kelar pada 2019. Tapi, proyek belum juga selesai. Pemerintah kemudian menargetkan proyek selesai dan beroperasi pada Juni 2023.

Persoalan berat proyek ini pun akhirnya menyasar ke APBN. Awalnya proyek ini dengan jumawa dijanjikan hanya dengan skema B2B. Proyek ini hanya boleh bersumber dari penerbitan obligasi oleh konsorsium BUMN atau perusahaan patungan.

“Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah,” tegas Jokowi, dikutip dari Sekretariat Kabinet, 15 September 2015 (kompas.com, 12/10/2021).

Namun di tahun 2021 Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. APBN pun akhirnya menanggung proyek ini.

Jokowi pun akhirnya menggelontorkan dana APBN Rp 4,3 triliun (Kompas.com, 9/2/2022).

Sedemikian besarnya pembengkakan biaya proyek ini kemudian dikomentari ekonom, salah satunya Faisal Basri dengan menyebut bahwa KCJB ini sampai kiamat pun tidak akan bisa balik modal.

Indikasi Jebakan Utang China
Anggaran proyek KCJB yang membengkak beberapa kali ini diindikasikan merupakan jebakan utang China kepada Indonesia. Bahkan lucunya biaya totalnya kini melebihi budget proposal dari Jepang yang di awal disingkirkan.

Indikasi jebakan utang ini diungkapkan oleh ekonom Bhima Yudhistira,

“Kereta Cepat Jakarta-Bandung terindikasi masuk ke dalam jebakan utang atau debt trap. Salah satu indikasinya adalah ini awalnya (proyek dengan skema) business to business kemudian menjadi pendanaan APBN dengan pembengkakan biaya yang sangat luar biasa,” kata Bhima dikutip Pikiran-rakyat.com dari kanal Youtube tvOneNews pada 6 Desember 2021.

Bhima kemudian menjelaskan bagaimana proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sewaktu-waktu bisa menjadi jebakan utang bagi Indonesia.

“Ketika proyek mengalami masalah, atau proyek mengalami kenaikan biaya yang luar biasa, maka ini akan menjadi jebakan (utang) karena Indonesia kemampuan bayarnya melemah dan mau tidak mau harus meminta pinjaman lagi. Di sinilah debt trap bekerja,” tuturnya.

Kita melihat proyek ini tidak lebih dari ambisi penguasa. Padahal dari sisi rakyat tidak dibutuhkan mengingat pilihan transportasi dan infrastruktur cenderung sudah baik. Namun ambisi ini menjadi beban negara yang ujungnya beban rakyat. []