Defisit Anggaran Apbn Berkepanjangan
Aliansi Pengusaha Muslim – Setelah Pemerintah mengumumkan anggaran Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun di Maret 2020, kemudian pada bulan Juni 2020 pemerintah menaikkan kembali menjadi Rp 677,2 triliun dengan adanya peningkatan stimulus baik di bidang kesehatan, dan stimulus dunia usaha.
Terakhir angka ini kembali meningkat. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, program penanganan pandemi virus Covid-19 dan penanganan ekonomi nasional (PEN) bakal memakan biaya hingga Rp 905,1 triliun (kompas.com, 19/6).
Sebagai konsekuensinya defisit APBN 2020 pun diperkirakan melebar sebesar 6,34 persen atau Rp 1.039,2 triliun. Dalam bahasa sederhana bermakna negara minus alias tekor Rp. 1.039,2 triliun.
Pertanyaan selanjutnya, lalu bagaimana menutupi anggaran yang kurang tersebut? Tidak ada cara lain selain berutang. Dan ini adalah hal yang biasa dalam pengelolaan APBN Indonesia. Yang tidak biasa adalah angka defsisitnya yang begitu besar. Dalam keadaan normal, tanpa pandemi Covid-19, APBN kita selalu defisit.
Sebagai negara dengan konsep kapitalis, sumber pemasukan utama APBN adalah pajak. Dan kita tahu bahwa dalam keadaan pandemi ini dunia usaha yang notabene sumber pajak sedang terpukul. Bertahan saja sudah sangat berat.
Kementerian Keuangan mencatat pendapatan negara tumbuh negatif 9,8% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah penerimaan dari sektor pajak yang turun drastis (detikcom, 9/7).
Karena itu pembiayaan negara ditutup dengan utang dan angkanya terus meningkat seperti di sebutkan di awal tulisan ini.
Fakta ini menyingkap kerapuhan struktural APBN. Pertama, fakta bahwa terbatasnya kapasitas fiskal. Nampak sumber pemasukan negara sangat minim. Jatuhnya kapasitas fiskal (penerimaan negara) ini di satu sisi menggambarkan beratnya kondisi ekonomi nasional.
Kedua, defisit anggaran yang menjadi norma/aturan dalam penyusunan APBN. Seperti kita ketahui Indonesia menganut anggaran defsit. Dalam keadaan normal saja anggaran APBN dibuat defisit.
“Defisit anggaran” adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah. Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, ketergantungan pembiayaan utang. Dengan politik anggaran yang sangat permisif terhadap utang, jatuhnya kapasitas fiskal di masa pandemi ini segera ditutup dengan utang yang masif untuk menopang belanja.
Terdapat data mengkhawatirkan atas peningkatan utang yang sangat signifikan. Dalam tiga bulan pertama 2020, stok utang bulanan pemerintah melonjak empat kali lipat dari rata-rata periode Juli 2013 – Desember 2019. Bisa dipastikan beban utang-utang saat pandemi ini akan tetap memberikan dampak hingga sepuluh tahun mendatang seperti yang dinyatakan Sri Mulyani sendiri ketika melakukan rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI pada Kamis (16/6).
Inilah problem sistemik politik anggaran Indonesia yang berkiblat kepada kapitalisme. Hendaknya benar-benar membuka mata kita karena problem ini menjadi beban berat dan membuat Indonesia tidak pernah benar-benar merasakan kesejahteraan dan terlepas dari jeratan utang. [] Pujo Nugroho (Pimred Assalim.id)