Dedolarisasi Tidak Akan Ada Artinya Jika Tidak Kembali Kepada Sistem Islam

Last Updated: 15 Mei 2023By

Fokus Ekonomi Assalim.id
Oleh: Pujo Nugroho

Assalim.id – Belakangan ini ramai berita tentang dedolarisasi yang dilakukan beberapa negara. Dedolarisasi adalah kebijakan sebuah negara untuk mengurangi atau menghapus penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional, baik dalam perdagangan, investasi, atau penggunaan mata uang cadangan. Negara-negara yang menerapkan dedolarisasi dapat memilih untuk mengembangkan penggunaan mata uang nasional mereka sendiri atau mata uang lain seperti euro, yuan, yen, atau bahkan menciptakan mata uang baru dalam kerangka kerja integrasi regional.

Tujuan dari dedolarisasi adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, yang dapat memberikan keuntungan ekonomi dan keamanan yang lebih besar bagi negara yang menerapkannya. Meski demikian bukan perkara mudah dan tanpa risiko.

Sebagaimana diketahui, digunakannya dolar AS sebagai mata uang internasional memberikan keuntungan yang besar bagi AS. Keuntungan tersebut di antaranya adalah:

Pertama, keberadaan dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia memungkinkan AS untuk mencetak uang dan meminjam dengan suku bunga yang lebih rendah, karena permintaan yang terus meningkat dari negara lain untuk memegang dolar AS. Hal ini memungkinkan AS untuk mempertahankan defisit anggaran dan perdagangan yang besar tanpa harus membayar suku bunga yang lebih tinggi.

Kedua, sebagai patokan nilai tukar dalam banyak kontrak perdagangan global, dolar AS memberikan keuntungan bagi AS karena memudahkan perdagangan internasional dan memperkuat posisi tawar AS dalam negosiasi perdagangan internasional. Selain itu, kepercayaan dunia pada stabilitas dolar AS juga membantu AS mempertahankan stabilitas keuangan dan ekonomi domestiknya.

Ketiga, kekuatan dolar AS sebagai mata uang internasional memberikan AS kekuatan politik dan pengaruh yang besar di sistem keuangan global. Dengan kontrol atas cadangan devisa dunia dan penggunaan dolar AS sebagai mata uang yang paling banyak diperdagangkan di seluruh dunia, AS dapat memengaruhi kebijakan ekonomi global dan mengekspor kebijakan moneter dan fiskalnya ke seluruh dunia.

Karena itu wajar tujuan dedolarisasi tidak saja murni persoalan ekonomi, moneter internasional, dan perdagangan antar-negara melainkan juga karena politik. Beberapa negara yang telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS adalah Rusia, China, Iran, dan Venezuela. Negara-negara ini memandang penggunaan dolar AS sebagai bagian dari hegemoni AS dan mencari alternatif untuk melindungi kepentingan nasional mereka.

China dan Rusia seringkali disebut sebagai dua negara yang paling aktif dalam mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS sebagai cadangan devisa. Kedua negara ini telah melakukan beberapa langkah untuk meningkatkan penggunaan mata uang nasional mereka sendiri dalam perdagangan internasional.

Terlebih lagi sejak AS menjatuhkan sanksi kepada Rusia karena invasi Rusia ke Ukraina. Rusia menjual murah minyak mereka ke berbagai negara secara langsung dengan syarat menggunakan mata uang mereka, rubel. Sontak kurs rubel melonjak seiring naiknya permintaan mata uang tersebut untuk perdagangan. Keputusan sanksi dari AS dan Eropa menjadi senjata makan tuan.

Sedangkan China, gerakannya makin luas dan masif dengan program Belt and Road Initiative (BRI) atau dikenal juga One Belt One Road (OBOR) yang mempromosikan perdagangan dan investasi China ke berbagai negara. Melalui BRI, China ingin memperoleh pengaruh ekonomi, politik, dan strategis di seluruh dunia. Dalam hal ekonomi, China membuka pasar baru bagi pengusaha dan perusahaan BUMN mereka untuk menjual produk dan jasa mereka, serta meningkatkan ketergantungan ekonomi negara lain pada China sekaligus menyingkirkan institusi keuangan internasional yang identik dengan AS seperti IMF dan lainnya.

China juga meningkatkan aksesnya terhadap sumber daya alam dan memperkuat posisi mereka sebagai produsen dan eksportir global. Di negara kita sendiri sangat terasa. Kehadiran China dalam penambangan nikel bahkan terkesan sangat mendominasi. Begitu juga investasinya di pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang kini merepotkan Indonesia karena meminta jaminan investasi (utang yang mereka berikan) berupa APBN.

Gerakan China di berbagai negara berkembang dan belum berkembang ini memperkuat posisi mata uang mereka secara tidak langsung melalui cengkraman ekonomi. Seiring kebijakan China yang menerbitkan Internationalization of the Renminbi (RMB) mata uang resmi China.

Untuk itu China telah membuka pasar keuangan domestiknya bagi investor asing dan memfasilitasi penggunaan RMB dalam transaksi perdagangan internasional. Pemerintah China juga telah menandatangani sejumlah perjanjian dengan negara-negara lain untuk menggunakan RMB dalam perdagangan bilateral dan membuka cabang bank-bank nasional China di berbagai negara. Inilah kampanye nyata China untuk dedolarisasi.

Lebih dari sekadar itu, Rusia dan China juga mengajak negara lain untuk menjalin kerjasama perdagangan, yang paling hangat adalah BRICS. BRICS merujuk kepada singkatan dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, yang merupakan lima negara besar yang berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat. BRICS memperkuat kerja sama dalam bidang keuangan untuk mempromosikan penggunaan mata uang nasional mereka sendiri dalam transaksi antar-mereka alias tidak menggunakan dolar AS. Termasuk dengan membentuk bank pembangunan bersama yang diberi nama New Development Bank (NDB) menyaingi bank-bank ala AS dan Eropa.

Gebrakan BRICS membuat ketertarikan banyak negara lain dan kabarnya meminta bergabung. Negara-negara tersebut yaitu Iran, Mesir, Arab Saudi, Aljazair, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Yang notabene negeri-negeri kaum muslimin.

Lepas dari Mulut Harimau, Masuk ke Mulut Buaya

Dengan demikian gerakan dedolarisasi yang gaungnya kencang saat ini tidak terlepas dari persaingan negara-negara besar antara AS dengan Rusia atau China yang bertujuan untuk keuntungan mereka masing-masing, terutama China. Satu dengan yang lain saling bersaing menjadi negara adidaya melalui jeratan utang berbalut investasi dan keuntungan sesat lainnya. Nampak sekilas kerjasama yang ditawarkan menguntungkan, namun secara jangka panjang tetap merupakan penjajahan ekonomi.

Karena itu dedolarisasi tidaklah benar-benar menguntungkan negeri kaum muslimin selama hanya berganti dari mata uang yang satu ke mata uang lainnya namun tetap dalam bingkai kapitalisme. Dedolarisasi ibarat kata, lepas mulut harimau masuk ke mulut buaya.

Islam sendiri sebagai sebuah ideologi memiliki sistem ekonomi tersendiri yang mengatur bagaimana kebijakan moneter (termasuk di dalamnya tentang mata uang), fiskal, perdagangan, investasi, industri, dan lainnya. Bahkan mengatur bagaimana sebuah negara menjadi kuat dan mandiri. Dalam sejarahnya bahkan Islam pernah menjadi pemimpin dan mercusuar dunia.

Alih-alih bergabung dengan berbagai organisasi dunia dalam rangka dedolarisasi, mestinya kaum muslimin kembali kepada sistem ekonomi Islam. Bahkan kembali kepada sistem Islam secara menyeluruh demi keselamatan dalam semua aspek kehidupan.[]