Categories: Editorial

assalim

Share

Oleh, EL Candra
(Ketua XBank Indonesia)

Ratio ini sedang banyak dibicarakan orang sehubungan dengan pengumuman hasil audit BPK terhadap laporan keuangan Pemerintah.

Melihat ratio DSR ini, ingatan saya jadi melayang ke tahun2 sebelum 2013, dimana saat itu saya masih sering bergelut dengan ratio DSR ini krn ratio ini yg dijadikan salah satu acuan atau dasar saat bank memutuskan pengajuan kredit kepada debiturnya.

Ratio DSR = perbandingan antara nilai Kewajiban pembayaran hutang pokok & bunga dengan Penghasilan bersih debitur tsb.

Biasanya patokan yg digunakan utk menilai kemampuan bayar dari debitur tsb adalah DSR = maksimal 40%, maksudnya kalau saat ini debitur tersebut memiliki Penghasilan Bersih = Rp. 100, maka besarnya kewajiban pembayaran pokok & bunga dari hutang yg dimiliki oleh debitur itu maksimal hanya Rp. 40 saja.

Kalau ternyata ada debitur yg ingin menambah hutangnya, padahal saat ini debitur tsb sudah punya hutang exist yg kewajiban pembayaran pokok & bunga nya menyebabkan nilai DSR > 40 %, maka debitur tersebut tergolong debitur yg beresiko tinggi dan biasanya permohonan penambahan hutangnya akan di tolak.

TANTANGAN dalam menghitung ratio DSR ini adalah :

  1. Bagaimana kita memastikan bahwa nilai hutang yg dimiliki debitur itu sudah seluruhnya di informasikan, sehingga saat kita menghitung besarnya kewajiban pokok & bunga nilainya sudah seluruhnya terhitung, krn selalu saja ada kemungkinan debitur menutup-nutupi jumlah hutangnya.
  2. Bagaimana kita bisa memastikan besarnya Penghasilan Bersih yg diterima debitur sudah benar2 bersih. Dimulai dengan, Apakah memang besarnya Penghasilan Kotor yg di sampaikan debitur itu memang senilai itu, bagaimana membuktikannya, selalu ada kemungkinan nilai Penghasilan kotor ini di markup. Lalu untuk mendapatkan Penghasilan Bersih, Penghasilan Kotor harus dikurangi Biaya Operasional usaha, apakah memang besarnya biaya operasional usaha yg dikeluarkan oleh debitur senilai itu, bagaimana membuktikannya, selalu ada kemungkinan biaya2 yg tidak dimasukkan atau tidak diketahui nilai pastinya. Sudah merupakan hal yg lumrah kalau debitur itu selalu ingin membesar2 kan penghasilan kotornya dan mengecil2 kan Biaya usahanya, dengan harapan akan mendapatkan nilai Penghasilan Bersih yg besar.

Cara mudah dalam “mengakali” ratio DSR ini adalah dengan Mengecilkan nilai Kewajiban pembayaran pokok & bunga dan Membesarkan nilai Pendapatan Bersih maka akan berdampak pada mengecilnya prosentase ratio DSR….agar tambahan permohonan kreditnya bisa disetujui.

Bagaimana dengan DSR utk hutang suatu negara ?

Untuk hutang negara ratio DSR = perbandingan antara nilai Kewajiban pembayaran hutang pokok & bunga dengan Pendapatan Eksport Barang & Jasa negara tersebut.

Adapun nilai toleransi nya adalah DSR = maksimal 20 %.

Lalu bagaimana dengan ratio DSR negara kita…berdasarkan info nilainya sudah 27% (sudah lebih besar dari nilai toleransi). Apakah nilai ratio ini bisa membesar lagi, sangat bisa kalau Jumlah hutangnya naik dan Pendapatan Eksport nya turun atau tetap. Apa dampaknya kalau ratio ini naik ?…Kemampuan bayar negara tersebut utk membayar hutangnya akan semakin beresiko.

Resiko itu akan semakin besar lagi apabila ternyata penambahan hutang yg diambil itu akan digunakan utk membiayai pengeluaran yg tidak produktif, krn hal itu jelas akan adanya kenaikan kewajiban tanpa diiringi dengan potensi bertambahnya pendapatan.

Lalu bagaimana dengan TANTANGAN dalam perhitungan DSR suatu negara ?

Saya rasa tantangannya sama dengan tantangan menghitung DSR perusahaan :

  1. Apakah benar semua hutang sudah diakui dan dihitung dengan benar kewajiban pokok & bunga nya ?
  2. Apakah benar nilai pendapatan eksport yang digunakan dalam perhitungan itu, apakah tidak ada markup ?

Selalu ada kemungkinan nilai tsb bisa diakali….selama yg mengurus negara itu masih manusia.

Mungkin ada yg berfikir, kalau ratio DSR suatu negara sudah melebihi ambang batas (20%), itu berarti lembaga atau negara donor pasti akan menolak permohonan apabila negara tsb akan meminta penambahan hutang, belum tentu demikian krn itu sangat tergantung motiv dari lembaga /negara donor itu dalam memberikan hutang, kalau motivasi dari lembaga/negara donor itu memberikan hutang ke satu negara karena ingin “menguasai” negara tersebut, maka semakin tidak mampu negara tsb membayar hutang akan semakin baik buat lembaga/negara donor tsb, bahkan kalau perlu hutang nya di tambah terus agar negara tsb benar2 tidak mampu lagi utk membayar, pada saat itulah lembaga/negara donor tsb bisa lebih mudah “menguasai” negara tsb. Percayalah…tidak ada makan siang yg gratis.

Semoga manfaat.

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts