Darurat Sipil, Cara Pemerintah Lepas Tangan?
Oleh : Pujo Nugroho
Aliansi Pengusaha Muslim – Akhirnya setelah ditunggu-tunggu karena lambannya, Pemerintah menetapkan kebijakan darurat sipil. Mungkin tak ada satupun di antara kita yang menduga langkah ini yang dipilih pemerintah.
Sebelumnya yang ada di benak adalah lockdown atau istilah legalnya (sesuai undang-undang yang ada, yaitu Undang-undang Karantina Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018) adalah karantina.
Mengapa? Karantina merupakan opsi yang disediakan oleh undang-undang. Di undang-undang ini tergambar cukup jelas bagaimana sebuah wilayah dikarantina karena alasan kesehatan. Di undang-undang ini pula tergambar tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan warganya selama masa karantina. Wabahnya ditangani, kebutuhan rakyat dipenuhi.
Persoalan pandemi Covid-19 ini jika dipetakan ada pada tiga hal utama. Pertama, penanganan mereka yang sudah dinyatakan positif dan yang PDP (pasien dalam pengawasan).
Kedua, pergerakan penduduk. Baik penduduk biasa maupun yang dinyatakan ODP (orang dalam pengawasan). Sebagaimana diketahui virus Covid-19 sangat mudah menyebar dari titik episentrum pandemi. Mereka yang belum merasakan gejala namun sudah sebagai carrier (pengantar virus) bisa menularkan kepada yang lain. Karena itu diperlukan lockdown atau karantina wilayah agar penyebaran virus bisa dikendalikan.
Ketiga, roda ekonomi. Imbauan bekerja di rumah ( work from home ) bagi pekerja dan karyawan, berdiam diri di rumah ( stay at home ), dan meliburkan sekolah hingga membatasi kegiatan yang melibatkan banyak orang drastis telah berdampak pada perputaran roda perekonomian. Warga diminta berdiam di rumah, tidak bisa bekerja, mestinya bagi pemerintah yang memiliki orientasi pelayan kepada rakyat membuat mereka berpikir untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Paling tidak selama masa pembatasan gerak warga.
Dipilihnya darurat sipil dibanding karantina disinyalir adalah langkah pemerintah untuk lari dari tanggung jawab menanggung ekonomi warga. Sebelum Covid-19 menjadi momok di negeri ini, ekonomi kita sudah terdampak. Dan setelah wabah ini benar-benar menjadi pandemi di dalam negeri ekonomi riil makin amblas. Karyawan hotel dan restoran dirumahkan, ojek online sepi orderan, warung-warung pun sepi pembeli. Rakyat terpaksa di rumah dan geraknya dibatasi tapi penghasilan tidak ada.
Apakah sulit menanggung ekonomi warga negara selama karantina? Iya, sangat sulit. Tapi itu bagi penguasa yang berorientasi kepada ekonomi kapitalistik dan materialis. Keputusan diambil dari sudut untung rugi secara ekonomi. Bahkan manusia tidak dipandang sebagai manusia melainkan sebagai faktor produksi.
Akhirnya slogan “Negara Hadir” hanyalah sebuah jargon belaka. Padahal sebuah hadits berbunyi, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.” (HR Bukhâri).
Kita rindu sistem yang benar dan pemimpin yang shalih. Kita rindu pemimpin sekaliber Umar bin Khaththab, misalnya. Di tiap malam dia memastikan setiap rakyat perutnya terisi. Seolah di tiap malam dia bertanya, “Apakah semua rakyatku sudah tidur dalam keadaan perut kenyang?”
Pemimpin seperti Umar r.a. tidak akan lahir dari sistem rusak seperti kapitalisme dan apa-apa diukur dengan standar materialisme seperti sekarang. Momentum pandemi Covid-19 adalah momentum tepat agar kita kembali kepada aturan Allah SWT.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 41). Wallahua’lam bi al showwab.