Dari Sekolah Sampai Sembako Bakal Dipajaki, Kezaliman Yang Nyata
Oleh Pujo Nugroho
Assalim.id – Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sekolah dan sembako.
Rencana pengenaan pajak sembako tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam rancangan (draf) aturan tersebut, barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Itu berarti, barang pokok akan dikenakan PPN.
Barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Begitu juga dengan dunia pendidikan, sekolah direncanakan akan dikenakan pajak. Sama seperti sembako, rencana pajak untuk sekolah in tercantum dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pajak sembako dan sekolah jelas merupakan kebijakan yang zalim. Tidak saja karena kondisi ekonomi yang masih tak menentu akibat pandemi covid-19, tetapi juga karena sembako dan sekolah merupakan kebutuhan paling dasar.
Memajaki sembako dan sekolah akan memberikan dampak yang luar biasa kepada masyarakat kecil. Harga-harga akan naik karena ada tambahan komponen pajak.
Meningkatkan taraf pendidikan dan kualitas hidup rakyat akan berujung bualan belaka.
Di balik rencana ini kita melihat bahwa beginilah kondisi Indonesia. Kesejahteraan makin hari makin jauh. Kemampuan daya beli masyarakat yang tetap rendah, lapangan pekerjaan yang terbatas, dan akan semakin berat dengan pajak pada bahan makanan pokok dan pendidikan.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi negara ini dalam Islam pajak (dlaribah) bukanlah sumber pemasukan yang utama. Pemberlakuannya sangat kondisional, ketat, dan sangat terbatas. Dlaribah diterapkan pada kondisi negara sangat membutuhkan dan ketika baitul mal (kas negara) kosong.
Pos pemasukan baitul mal sendiri adalah kharaj, fai, dan hasil pengelolaan kepemilikan umum (SDA). Dengan demikian pemberlakukan dlaribah sangat kondisional.
Dan setelah uang di baitul mal sudah cukup maka dharibah kembali tidak diberlakukan. Objek yang dipungut dlaribah pun sangat terbatas yakni hanya kaum muslimin yang kaya saja.
Berbeda dengan pajak yang berlaku rata seluruh warga negara tak mengenal mampu atau tidak mampu dan dengan rentang waktu yang lama karena memang pajak adalah sumber pemasukan negara pada konsep ekonomi kapitalisme.
Jelas pajak terlebih lagi pajak sembako dan sekolah adalah kezaliman. Umat harus sadar bahwa sistem kapitalisme menghadirkan kezaliman dan penderitaan.[]