Dampak Likuiditas Perbankan Bagi Ekonomi Umat

Last Updated: 12 Juli 2020By

Aliansi Pengusaha Muslim – Kesulitan likuiditas perbankan di masa pandemi menuju resesi ini kian nyaring terdengar. Salah satunya apa yang baru saja dialami oleh bank plat merah BUKOPIN, yang melakukan kebijakan pembatasan penarikan dana nasabah di sejumlah cabang. Sekretaris Perusahaan Meliawati mengatakan pembatasan penarikan dana berlaku dalam kondisi situasional agar bank dapat memenuhi kebutuhan transaksi nasabah. (CNN Indonesia 30/06/2020).

Jauh-jauh hari aspek likuiditas ini mendapat perhatian lebih dari Bank Indonesia (BI). Pelonggaran likuiditas (quantitative easing) yang ditempuh BI sejak awal tahun ini saja telah menggelontorkan tambahan dana sebesar Rp 503,8 triliun. Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi video di Jakarta. (katadata.co.id, 29/4).

Namun demikian, stimulus tersebut tampaknya kontras dengan likuiditas perbankan saat ini. Dari sisi hulu, nasabah mulai menarik dana simpanannya dari perbankan. Masyarakat, khususnya menengah ke bawah, yang mungkin sudah tidak bekerja lagi atau di-PHK mulai ‘mantab’ alias makan tabungan.

Dampak lanjutannya bisa berakibat bank kepayahan dalam hal likuiditas dan operasional. Padahal, dana pihak ketiga (DPK) merupakan ‘input’ bagi perbankan dalam operasi bisnisnya. Belum lagi ditambah beban dari sisi hilir, di mana pertumbuhan kredit baru masih seret, sedangkan kredit lama justru banyak yang macet. Karena faktanya pandemi dan krisis saat ini mengerus kemampuan cashflow dunia usaha.

Ini juga bisa dilihat dari data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait catatan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) bruto pada akhir maret yang berada di posisi 2,77%. Dari NPL di atas, nilai kredit yang perlu direstrukturisasi sampai April mencapai Rp 207,22 triliun. Dan angka ini pasti anak mengalami kenaikan kalau melihat trend dunia usaha saat ini.

Sektor perbankan dalam sistem kapitalis diposisikan sebagai korporasi oleh karenanya persoalan likuiditas bagi bank adalah persoalan yang sangat penting dan berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat, nasabah dan pemerintah. Sehingga Risiko likuiditas juga menjadi salah satu fokus risiko yang diperhitungkan dalam mengelola suatu bank. Fokus dari likuiditas adalah memenuhi kewajiban jangka pendek serta memanfaatkan dana yang menganggur, karena jika terlalu banyak dana yang menganggur akan mengurangi profitabilitas bank.

Pada titik inilah, sebenarnya perbankan sebagai salah satu pilar sistem kapitalis rentan menjadi pemicu krisis dan resesi ekonomi. Karena dalam perspektif kapitalis awalnya bunga/return bank berfungsi sebagai instrument untuk mendorong terjadinya keseimbangan pasar dan pengendali inflasi.

Tapi faktanya bukan manfaat yang didapatkan, namun sebaliknya bunga/riba menjadi sumber ketidakstabilan, karena bunga dimanfaatkan oleh para kapital/pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan dari pasar uang. Lihat saja ketika suku bunga tinggi, maka mereka cenderung menyimpan uangnya di bank, yang akhirnya meningkatkan inflasi dan melambatnya sektor riil.

Ancaman serius berikutnya, saat dana dalam jumlah besar tersebut yang diinvestasikan oleh bank disektor non riil/investasi tidak langsung ini mengalami guncangan seperti saat ini. Maka bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang bisa berujung kepada likuidasi perbankan. Dan ini pastinya berakibat sistemik bagi perekonomian sebuah negara.

Sungguh apa yang terjadi saat ini hanyalah sebuat pembuktian, betapa rusaknya akibat yang ditimbulkan dari aktivitas perbankan ribawi yang telah dilarang Allah dan digambarkan akibatnya, seperti fiman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah :279)

Dari kesemuanya ini, harusnya menyadarkan kita semua, khusunya pengusaha muslim bahwa hanya dengan jalan Islam lewat penerapan sistem ekonominya sajalah kita bisa meraih kestabilan ekonomi yang hakiki didunia dan dikehidupan setelahnya. “Tidak yang lain” [] Agan Salim