Dalam Islam Pengusaha Tidak Dipusingkan Soal Upah, Kebutuhan Dasar Buruh Yang Notabene Rakyat Ditanggung Negara
Fokus Ekonomi Assalim.id | Edisi 82
Oleh Pujo Nugroho
Assalim.id – Tiap tahun kita disajikan “kisruh” penetapan upah minimum kalangan pekerja/buruh. Taruk-ulur antara buruh, pengusaha, dan pemerintah terus terjadi. Kesannya pun tak ada yang puas. Pengusaha keberatan atas kenaikan, buruh kecewa karena kenaikan yang minim, dan pemerintah yang terkesan tak mau ambil risiko.
Bagi pemerintah penetapan yang rendah akan menghilangkan popularitas di mata buruh dan kesejahteraan buruh. Sedangkan penetapan yang tinggi menyebabkan dunia usaha berat dan perginya investor.
Minggu-minggu lalu lagi-lagi kita disajikan tarik-ulur yang selalu alot ini. Sesuai Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Tenaga Kerja (Ciptaker) penetapan upah minimum provinsi (UMP) ditetapkan setiap tanggal 21 November.
Untuk diketahui UU Ciptaker mengatur perhitungan upah buruh sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. PP ini sekaligus mencabut aturan sebelumnya, yakni PP nomor 78 tahun 2015. Upah ditetapkan berdasarkan formulasi dari kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Baik meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten kota yang bersangkutan.
Di dalam pasal 25 ayat 4 dijelaskan, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja,dan median upah. Di mana penetapan ini bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Penyesuaian upah dilakukan dengan membentuk batas atas yang merupakan acuan nilai upah minimum tertinggi yang dihitung menggunakan variabel rata-rata konsumsi perkapita dan rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang bekerja pada setiap rumah tangga.
Kemudian juga ada batas bawah, yaitu upah minimum merupakan acuan upah minimum terendah yang besarannya 50 persen dari batas atas upah minimum. Nilai batas atas dan bawah serta pertumbuhan ekonomi dan inflasi provinsi akan digunakan untuk menghitung formula penyesuaian nilai upah minimum.
Secara sederhana dari pemaparan panjang di atas, upah tidak saja didasarkan pada manfaat kerja melainkan juga faktor-faktor di luar pekerjaan. Seperti inflasi provinsi, variabel rata-rata konsumsi perkapita, dan rata-rata banyaknya anggota keluarga di provinsi dimaksud.
Semua dalam rangka mencapai kelayakan hidup para buruh. Mempertahankan daya beli agar bisa bertahan secara ekonomi. Sekali lagi bukan semata manfaat kerja.
Dari sini kita melihat bahwa para pengusaha menanggung beban hidup buruh secara ekonomi. Juga secara tidak langsung kebutuhan keluarga buruh.
Padahal apa hubungannya antara pekerjaan dengan tanggung jawab menanggung beban kehidupan secara ekonomi keluarga buruh?
Namun demikianlah faktanya dalam dunia kapitalisme. Negara membuat aturan dan tak menanggung kebutuhan dasar seluruh rakyat secara umum termasuk buruh.
Walhasil, beban-beban tersebut tertumpu kepada para pelaku usaha (pengusaha/pemilil usaha). Wajar setiap tahun penetapan upah minimum ini selalu terjadi kekisruhan.
Dalam Islam upah bebas ditentukan antara pemberi kerja dengan pekerja. Penetapan sangat tergantung terhadap skill yang dimiliki pekerja. Juga kompetisi tenaga kerja secara umum. Kompetensi dan kualitas kerja tentu akan sangat dihargai. Begitu pula waktu (lama pekerjaan) dalam pekerjaan tersebut.
Penetapan upah tidak dibebani berbagai variabel di luar pekerjaan seperti yang disebut di atas (peetumbuhan ekonomi, inflasi, dan sebagainya). Karena negara sudah menjamim kebutuhan dasar tiap warga negara secara umum. Kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan keamanan sudah dijamin negara.
Di dalam Islam juga disediakan hakim dan pengadilan jika terjadi sengketa antara pemberi kerja dan pekerja sehingga tidak ada kesewenangan pengingkaran aqad kerja/ijarah. Kedua belah pihak (pekerja dan pemberi kerja) sama kedudukannya di mata hukum.
Bisa kita bayangkan dalam Islam kegiatan ekonomi akan tumbuh subur karena penetapan tersebut di atas menguntungkan kedua belah pihak. Pengusaha tidak dibebankan biaya variabel di luar pekerjaan. Dan buruh tidak dipusingkan dengan nasib kehidupan dirinya dan keluarganya karena dijamin negara.
Beginilah Islam. Aturannya tidak saja melulu soal ibadah mahdhah (shalat, puasa, haji, dst.) tetapi juga muamalah dan ekonomi secara luas. Pelaksanaannya selain diwajibkan juga mendatangkan maslahat.[]