Corona Dan Rapuhnya Kapitalisme
Oleh : Pujo Nugroho
Aliansi Pengusaha Muslim – Pasar modal dunia bergejolak terimbas wabah corona (COVID-19) yang sudah hampir merata di seluruh dunia. Indeks saham Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok, indeks saham Jepang Nikkei, HangSeng Hong Kong, indeks saham Australia AORD, dan lainnya turun tajam. Bahkan tak lama setelah pengumuman pembatasan perjalanan oleh Donald Trump untuk warga AS, Dow Jones ambrol 1.500 poin dan perdagangan dihentikan (trading halt). Di Indonesia sendiri IHSG juga sempat dihentikan karena perdagangan turun. Nilai rupiahpun anjlok.
Merosotnya nilai saham ini menimbulkan kerugian besar para pelakunya. Konglomerat barang mewah Bernard Arnault nilai kekayaannya merosot 9,5 miliar USD atau setara sekira Rp 140,5 triliun. Sementara itu, orang terkaya di dunia Jeff Bezos mengalami penurunan kekayaan 8,1 miliar USD atau setara sekira Rp 119,4 triliun.
Fakta ini kembali memperlihatkan bahwa sistem ekonomi yang menyandarkan pada pasar saham adalah sistem yang tak menentu. Keadaan ini sekaligus menggambarkan rapuhnya kapitalisme.
Ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi yang berbasis sektor moneter atau keuangan (monetary based economy). Karena itu ekonomi kapitalis didominasi sektor non-riil. Pada sistem ini keuntungan ekonomi tidak diperoleh dari kegiatan investasi produksi barang dan jasa tetapi diperoleh melalui investasi spekulatif dalam sektor non-riil, yaitu melalui jual beli surat berharga seperti saham dan obligasi serta kredit perbankan. Sebuah sistem yang totally ribawi.
Pada sektor non-riil inilah sumber masalah. Nilai saham terbentuk dari transaksi spekulatif dan kemudian membentuk nilai yang tidak sesuai dengan fundamental atau riil-nya perusahaan yang sahamnya diperdagangkan. Karena ia spekulatif maka pada kondisi tertentu nilainya bisa terus naik. Keuntungan dari aktivitas jual beli saham ini menyebabkan saham tersebut terus diburu. Nilainya menjadi tinggi hingga nilainya jauh dari fundamental dan nilai riil perusahaan dari saham tersebut. Nilai semu ini disebut bubble value (nilai gelembung). Bubble value ini sangat mudah tergerus. Isu kecil saja bisa memicu aksi jual saham beramai-ramai hingga harga pasar sangat mudah rontok.
Contoh paling nyata riak kecil berdampak pada goyangnya pasar saham terkait COVID-19 ini adalah bergejolaknya pasar saham AS karena Asosiasi Basket Nasional (National Basketball Association/NBA) menghentikan sementara musim pertandingan setelah pemain Utah Jazz terbukti positif mengidap corona. Juga disebabkan bintang film Tom Hanks dan istrinya yang juga dinyatakan positif.
Aktivitas pelaku pasar modal melepas saham karena menghindari kerugian berujung berkurangnya USD di sebuah negara (outflow). Inilah yang terjadi pada IHSG saat ini. Per Jumat (13/3/2020) dalam sepekan IHSG minus 10,75%. Setara dengan dana asing yang pergi senilai Rp 2,10 triliun. Larinya USD ini berujung jatuhnya nilai rupiah terhadap USD.
Resesi diperparah karena pasar modal masing-masing negera terkoneksi. Interkoneksi ini menyebabkan guncangan pada salah satu pasar segera merembet kepada pasar modal negara lain. Hal ini terjadi karena sistem kapitalis menganut liberalisme. Siapapun bisa terlibat di pasar modal dan pasar uang manapun. Bahkan siapapun selama memiliki kapital besar bisa menjatuhkan nilai mata uang sebuah negara. Interkoneksi ini menyebabkan krisis moneter di sebuah negara selalu disusul krisis di negara lain.
Indonesia pernah merasakan rembeten krisis berupa krisis moneter hebat pada tahun 1997/1998. Krisis berawal dari hilangnya kepercayaan investor pada mata uang Asia. Terjadilah aksi borong USD dan jual mata uang Asia Tenggara. Kemudian efek domino terjadi, dimulai dari Thailand dan meluas ke Filipina, Hong Kong, Malaysia, dan Indonesia dan terus menyebar hingga memicu krisis global. Pasar saham Thailand terkoreksi 75%, Hong Kong 23% dan Singapura anjlok hingga 60% serta nilai tukar Rupiah terdevaluasi hingga 90%.
Rapuhnya kapitalisme dapat terlihat jelas dari perbandingan jumlah uang pada sektor riil dan non-rill. Menurut Prof. Maurice Allais, peraih Nobel tahun 1997 dalam tulisannya, “The Monetery Condition of an Economiy of Market,” menyebut hasil penelitiannya yang melibatkan 21 negara besar, bahwa uang yang beredar disektor non-riil tiap hari mencapai lebih dari 440 miliar US$; sedangkan disektor riil hanya sekitar 30 miliar US$ atau kurang dari 10%. Demikian besarnya padahal nilainya berupa bubble value. Tingginya jumlah uang pada sektor non-riil menyebabkan sektor riil tidak berjalan optimal.
Dalam Islam sektor non-riil ini adalah hal yang jelas dilarang. Selain mengandung unsur riba dan judi sistem ini juga terbukti cacat dengan bubble value-nya.
Pelarangan sektor non-riil serta pelarangan kanzul mal (penimbunan emas dan perak) menyebabkan sektor riil sangat aktif. Dana seluruhnya tersalur kepada sektor riil. Di sektor riil inilah (berupa kegiatan usaha, produksi, pertanian, perikanan, dan kegiatan padat karya lainnya) tenaga kerja terserap secara besar. Kita bisa membandingkan berapa jumlah tenaga kerja yang terlibat di sektor non-riil dengan sektor riil. Seperti diungkapkan di atas sektor non-riil menyedot banyak uang padahal jumlah orang yang terlibat sangat sedikit.
Demikianlah gambaran rapuhnya sistem ekonomi kapitalis. Saatnya dunia menghentikan sistem ini dan beralih kepada sistem Islam. Wallahua’lam.