Burung Dalam Sangkar
Oleh: Yogie W. Abarri
Aliansi Pengusaha Muslim Jawa Tengah
Mau tertawa, takut dosa.
Mau tak tertawa, nyatanya lucu banget.
Apa yang terjadi di negeri ini sungguh lucu.
Cak Nun dalam salah satu videonya yang beredar di medsos, di depan jamaah Maiyah-an nya sampai pernah membayangkan bahwa (jangan-jangan) malaikat pun tak sanggup menahan tawa demi menyaksikan kelucuan yang terjadi.
Masih terkait dengan merebaknya wabah Covid di negeri kita yang tercinta ini.
Tanda-tandanya sudah terlihat sejak awal, rezim seolah memang berniat mau lepas tangan.
Kekuasaannya ayo ah.
Tanggung jawabnya ogah.
Diminta lockdown, menghindar.
Karena biayanya besar.
Mau karantina wilayah, enggan juga.
Sebab dengan lockdown sama saja.
Lalu darurat sipil diwacanakanlah.
Tapi rupanya rakyat marah-marah.
Akhirnya jadinya darurat kesehatan.
Dia pikir itu yang paling ringan.
Sudah selesai?
Ternyata belum usai.
Rakyat yang sebelumnya marah-marah karena dengan darurat sipil seolah pemerintah jadi terkesan menganggap rakyat adalah ancaman, ketika istilahnya diubah menjadi darurat kesehatan, berubah menjadi marah dan dongkol.
Mengapa? Karena rakyat makin merasa bahwa rezim memang menghindar dari memikul beban hidup rakyat yang jadi semakin berat dengan merebaknya wabah.
Rezim hanya berputar-putar dengan istilah yang berbeda, untuk tujuan yang sama.
Rakyat membayangkan diri mereka bagaikan burung yang dikurung di dalam sangkar tapi tidak diberi makan dan tidak diurusi kebutuhan hidupnya.
Segala caci maki dan sumpah serapah pun berseliweran di medsos.
Rakyat merasa dipimpin oleh manusia yang tak becus.
Lucu? Enggak. Itu gak lucu, melainkan tragis.
Lucunya adalah…
… bila memang ia itu manusia tak becus…
Lha yang menaikkan manusia tak becus itu siapa sih? Sehingga dia bisa berada disana?
Lucu kan?
Apa? Karena curang?
Lho, yang cuek aja dengan berlakunya sistem politik yang memang membuka peluang bagi terjadinya kecurangan itu siapa to?
Lucu kan?
Mengapa Ummat ridha dengan semua itu?
Jawabnya… bisa jadi adalah karena Ummat tidak tahu.
Bilapun sudah ada yang tahu, Ummat yang belum tahu masih jauh lebih banyak lagi.
Lalu, mengapa Ummat kok tidak tahu?
Nah Anda yang sudah tahu itu sudah memberi tahu atau belum?
Anda sudah giat berdakwah atau belum?
Ayolah kita introspeksi diri.
Silakan bila Anda mau menasihati penguasa karena telah abai pada rakyat.
Tapi nasihati juga itu diri Anda sendiri, apakah kita sudah benar² all-out dalam berdakwah kepada Ummat?
Apa yang perlu kita sampaikan pada Ummat?
Menurut Anda, aturan siapakah yang seharusnya kita terapkan?
Aturan buatan manusia, atau aturan dari yang membuat manusia?
Aturan dari yang membuat manusia kan?
“Sudah saatnya kita kembali pada (aturan) Allah.”
Itu kalimat yang sederhana bukan?
Maka yuk kita sampaikan kalimat itu kepada sebanyak mungkin orang.
Pemimpin suatu kaum adalah cerminan dari kaum yang dipimpinnya.
Sehingga ketika kelak Ummat sudah sadar betul bahwa sudah saatnya kita semua kembali pada (aturan) Allah… insyaaLLah bukanlah mimpi di siang bolong bila Ummat berharap punya pemimpin yang akan memimpin mereka untuk kembali pada (aturan) Allah SWT. [UYWA]