
Fokus Ekonomi Assalim.kd
Oleh: Ali Akbar Al Buthoni
Assalim.id “3,3 billion people more than a systemic risk. Its a systemic failure (3,3 miliar orang tidak terancam resiko sistemik, tapi sudah alami kegagalan sistemik)” United Nation Chief, Antonio Guteress.
Lebih spesifik lagi Antonio Guteress menyebutkan “Negara yang membayar bunga pinjaman lebih besar dari anggaran kesehatan atau pendidikan, masuk negara gagal sistemik”. (politik.rmol.id dan pikiranrakyat.com)
Merespon pernyataan di atas, Rektor Universitas Paramadina, Profesor Didik J Rachbini, menuturkan ada empat komponen negara-negara dikatakan gagal secara sistemik, akibat dari bunga pinjaman.
Pertama, utang di setiap negara yang dipicu ekspansi anggaran. Di negara yang tingkat kolusi, korupsi, dan nepotismenya (KKN) tinggi, biasanya berhubungan dengan proyek. Kedua, proyek-proyek yang berpotensi KKN, terutama yang ada kaitan dengan politik dominan, sehingga utang sangat berlebihan dan menjerat APBN. Ketiga, utang yang disebabkan praktik korupsi skala besar, yang dibungkus kebijakan “Itu merupakan state capture corruption yang susah ditangkap tangan oleh KPK karena menyatu dengan politik” imbuhnya. Dan keempat, di Indonesia, anggaran untuk Kementerian Kesehatan Rp 85 Triliun, bayar bunga utang Rp 441 triliun atau 500 persen lebih tinggi.
Dari fakta di atas sudah sangat cukup mewakili bahwa fenomena jebakan utang yang dialami setiap negara saat ini termasuk Indonesia, bukanlah persoalan gagal sistemik melainkan bukti bahwa sistem kapitalisme adalah sistem yang gagal.
Bagaimana tidak, hampir semua negara di dunia saat ini yang notabene menggunakan sistem kapitalisme dalam perekenomian negaranya bisa dipastikan menjadikan utang sebagai salah satu instrumen utama selain pajak sebagai pendapatan negara.
Di Indonesia misalnya, pada tahun 2022 lalu total pendapat dari pajak saja mencapai 65,37% dari seluruh pendapatan yg diperoleh, ironisnya negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini cuma memperoleh 34% dari kekayaan alamnya. Ditambah dengan banyak kebocoran sana sini seperti kasus terbaru yang diklaim “negara kecolongan 5 juta ton nikel ke China”, kok bisa?! Inilah faktanya. Dan seolah hal seperti ini menjadi biasa karena dilakukan oleh oknum-oknum atas nama negara dan atas nama rakyat.
Belum lagi menilik berbagai isu dari sektor-sektor lainnya. Misalnya meningkatnya jumlah kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2022 adalah 26,16 juta jiwa. Sedangkan tingkat kemiskinan Indonesia pada bulan yang sama sebesar 9,54 persen.
Di bidang pendidikan pun sama, Indonesia masih menempati peringkat 67 dari 203 negara sebagai negara dengan kualitas masih sangat buruk dari negara lainnya. Sementara itu para elit politik yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengurusi urusannya karena dianggap mampu justru sibuk dengan cawe-cawe pilpres yang dianggap mampu melanjutkan program pemerintahan yang sudah berjalan.
Dan masih banyak lagi fakta kegagalan sistem kapitalisme – demokrasi ini. Haruskah menunggu negeri ini hancur lebur dahulu kemudian baru ada kesadaran untuk berbenah?!
Sistem Ekonomi Islam dan Syariah Kaffah sebagai Solusi Tuntas
Berbagai persoalan pelik yang dihadapi umat manusia hari ini hanya bisa diselesaikan dengan tata kelola negara yang bersumber dari penciptanya manusia yaitu Allah SWT dalam wujud syariah Islam Kaffah.
Untuk menjaga kegagalan sistemik negara, Islam telah menancapkan pondasi kokoh sistemnya sebelum membahas lebih detail sistem ekonomi dan turunannya, yaitu konsep “kepemilikan harta kekayaan” yang ada mesti dibagi menjadi 3 pos, yaitu Pos Kepemilikan Individu yang nantinya akan membentuk mekanisme pasar syariah, Pos Kepemilikan Umum yang implikasinya semua sumber daya yang ada adalah milik umat/rakyat dan hanya boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat melalui negara serta tidak boleh diserahkan kepada individu swasta apalagi asing dan aseng, dan terakhir adalah Pos Kepemilikan Negara yang implikasinya negara memiliki harta secara mandiri agar tidak memberatkan rakyat dalam menjalankan berbagai operasikan kenegaraan. (Sistem Ekonomi Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani)
Untuk menjamin keberlangsungan pos-pos tersebut diatur dalam mekanisme Politik Ekonomi Islam, dan menjadikan Baitul Mal sebagai jantung atau pusat kontrol semua aktivitas ekonomi negara. Bahkan untuk menjamin kebutuhan setiap individu rakyat negara wajib memastikan bahwa setiap individu sudah mampu terpenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti sandang, pangan dan papan. Berbeda dengan ekonomi kapitalisme yang mengukur dari pendapatan per kapita yang justru menyuburkan kemiskinan dan ketimpangan yang menganga.
Dalam Islam kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah di antara kewajiban negara terhadap rakyatnya, yang wajib dipastikan hingga individu per individu dipenuhi kebutuhannya karena support dananya juga besar yaitu pos kepemilikan umum dan tetesan kepemilikan individu berupa zakat, Infaq, dan sadaqah.
Lalu, mengapa masih meragukan Ekonomi Islam dan Syariah Kaffah sebagai aturan bernegara? Apakah kita meragukan Allah sebagai pencipta manusia dalam mengatur manusia itu sendiri?! Na’udzubillah min dzalik
Allahu a’lam.[]