Bisnis Democrazy Memang Membuat Crazy
Abah jadi ingat. Waktu itu tahun 2015. Sehari menjelang pilkada, seorang wartawan senior yang sering bergulat dengan hiruk pikuk luar dan dalam perpolitikan nasional menyampaikan fakta tragis. Apa itu? Bahwa ternyata pilkada serentak itu membuat para bandar politik (pebisnis democrazy) tidak bisa lagi bermain di setiap daerah yang melaksanakan pilkada. Para bandar politik ini biasanya menjadi penyandang dana untuk para kontestan dengan janji imbalan proyek-proyek infrastruktur, konsesi tambang, HPH dan segala macam potensi yang bisa dikeruk dari daerah itu. Para bandar itu kini harus memilih dengan cermat, daerah mana yang kemungkinan besar bakal menang. Mereka tak bisa lagi menebar jala dengan harapan kalaupun gagal di daerah A, maka mereka masih bisa berharap pengembalian modal dari daerah B.
Karena para bandar politik tidak gampang menebar dukungan dana, maka banyak calon kepala daerah yang mulai kelimpungan dalam urusan logistik. Maklumlah, berpolitik di negeri +62 ini butuh modal duit yang sangat besar. Modal pertama harus disiapkan untuk membeli dukungan dari partai-partai politik. Istilah kerennya ‘mahar politik’. Modal kedua, sudah dibagi habis untuk tim sukses dan untuk membeli alat peraga, kaos, spanduk dsbg. Bahkan di beberapa daerah, tim sukses terpaksa harus nombok dulu karena duit bakal calon sudah menipis. Harapannya, jika menang modal akan kembali berlipat-lipat. Tapi bagaimana jika kalah? Duh… ceritanya masih panjang, tapi singkatnya, sang calon sudah pasrah sambil harap-harap cemas dan mulai mencari akal untuk mengembalikan modal plus semua hutang yang bakal mereka tanggung sesudah pilkada. Syukur-syukur tak sampai harus mondok di rumah sakit jiwa! Nah!
Demokrasi ternyata melahirkan pebisnis-pebisnis democrazy yang tak hanya berbisnis barang dan jasa seperti biasa untuk kebutuhan sehari-hari kita, tanpa melihat lagi halal atau haram. Tapi lebih jauh lagi, mereka juga membisniskan demokrasi itu sendiri! Bisnis democrazy lengkap dengan layanan purna jual dalam bentuk korupsi, manipulasi, kolusi dan saudara-saudaranya!
Nah, ternyata bisnis model begini ini sesungguhnya bukan barang baru. Setidaknya ditemukan dalam sebuah studi di Cina pada abad ke-3 SM. Lu Bu Wei, Pejabat Perdana Menteri Dinasti Qin yang menjadi peletak dasar penyatuan Cina berdialog dengan Bapaknya, ‘Berapa untungnya bertani?’ dijawab sang Bapak, ’10 kali lipat’. ‘Kalau berdagang emas?’ dijawab lagi, ‘100 kali lipat. ‘Oh kalau membantu seseorang menjadi penguasa/pejabat?’ dijawab lagi oleh sang Bapak, ‘Wah wah tak terhitung untungnya!’ Dari dialog inilah kemudian dikenal istilah ‘cukong’ yang berasal dari kata ‘Zhu’ yang artinya pemilik dan ‘Gong’ yang artinya semacam datuk atau gelar kehormatan. Inilah panggilan ‘kehormatan’ zaman dulu bagi orang-orang yang membiayai orang-orang tertentu menjadi Penguasa (anggota parlemen, bupati, gubernur, presiden, kepala polisi hingga panglima tentara). Mereka menyebutnya bisnis ‘beternak’ penguasa! Wajarlah kalau pasca terpilih, sang penguasa terperangkap oleh cukongnya…
Karenanya dan mestinya, kita semua tidak lagi terjebak dalam jebakan batman yang bernama demokrasi beserta pernak-pernik pemilunya! Rasulullah SAW pernah mewanti-wanti kita jika suatu saat nanti penguasa-penguasa negeri kaum muslimin melaksanakan hukum yang bukan dari Allah, maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka untuk memerintah dan merampas harta kekayaan mereka, dan Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Truly Muslimpreneur,
Kita sudah bertekad dengan Bisnis, Ngaji dan Dakwah. Bisnis harus sesuai syariah agar berkah. Ngaji harus konsisten dan kontinyu agar bisa terus mengawal kehidupan kita menjadi berkah. Dakwah harus menerus agar umat makin paham keburukan kapitalisme sekulerisme demokrasi dan kebaikan Islam yang kaaffah ini. Dengan slogan itu kita gak akan pernah diam dan mendiamkan semua ini. Bismillah.
@bah Salim