Besarnya Subsidi BBM Tidak Pantas Dikeluhkan Pemerintah

Last Updated: 8 Januari 2024By

Editorial Assalim.id
Oleh: Pujo Nugroho

Assalim.id – Presiden Joko Widodo berulang kali membicarakan tentang besarnya subsidi yang diberikan negara untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) di Tanah Air. Pernah juga membandingkan harga BBM di Indonesia yang saat ini jauh berbeda dengan sejumlah negara.

“Kita harus menyubsidi harga BBM, anggaran subsidi dari Rp 152 triliun melompat kepada Rp 502 triliun. Ini besar sekali,” ujar Presiden pada satu kesempatan pidatonya (Rabu, 22/6/2022).

Nampak sekali pemerintah mengeluhkan besarnya subsidi BBM. Subsidi ini dianggap membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun, pantaskah besarnya subsidi BBM ini dikeluhkan pemerintah? Tentu tidak. Mengapa, karena begitu banyak pertimbangan penting lainnya.

Tulisan ini mencoba menjelaskan mengapa subsidi BBM tidak pantas dianggap beban bagi negara.

Pertama, subsidi BBM bukanlah anggaran pengeluaran terbesar di APBN tahun 2022 ini. Ada alokasi pembayaran utang pokok dan juga bunga utang. Anggaran ini adalah salah satu anggaran yang nilainya melebihi subsidi BBM di atas.

Menurut ekonom Rizal Ramli dalam salah satu tweet-nya pada Minggu (14/8/2022) ia menyebut jumlah pembayaran cicilan pokok utang Rp 400 Trilliun dan cicilan bunga utang Rp 405 Trilliun per tahun.

Untuk bunga utang saja nilainya hampir setara dengan total subsidi BBM yang disebut di atas.

Anehnya kita tidak pernah mendengar presiden mengeluhkan soal besarnya cicilan ini. Jika alasannya untuk masyarakat luas, bukan kah subsidi BBM jelas-jelas untuk masyarakat luas?

Biaya paling besar pada pengeluaran APBN selama ini selalu pos belanja pegawai alias gaji ASN. Bahkan di masa pandemi sekalipun. Dan kesan tidak efesien, boros, dan tidak produktifnya anggaran ini selalu mengemuka. Hal ini seperti diungkapkan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira.

“Tenyata cost belanja yang paling besar bukan untuk belanja kesehatan apalagi disituasi pandemi. Tapi yang paling besar adalah belanja yang sifatnya birokratis seperti belanja pegawai dan barang dan itu menjadi pemborosan,” katanya (sindonews.com, 25/6/2021).

Kedua, di tengah kenaikan harga energi pemerintah tidak selalu rugi. Sebagaimana diketahui bahwa besarnya subsidi yang dikeluarkan pemerintah disebabkan menahan harga BBM padahal harga internasionalnya yang tinggi. Selisih yang semakin lebar inilah yang ditambal pemerintah dan disebut sebagai subsidi.

Namun, di tengah kenaikan harga energi ini sebenarnya pemerintah tidak selalu rugi. Sebagaimana diketahui Indonesia sendiri adalah eksportir beberapa komoditas energi itu sendiri. Yang paling menonjol adalah CPO dari kelapa sawit dan juga batu bara.

Bahkan sedemikian tingginya harga dan permintaan ekspor batu bara penerimaan negara melonjak. Hingga kondisi APBN dalam keadaan surplus. Seperti yang diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan kondisi APBN hingga Juli 2022 mencatatkan kinerja positif. Ini tercermin dari anggaran negara yang kembali surplus Rp106,1 triliun atau 0,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Jadi, saat ini kondisi APBN tidak sedang dalam keadaan kekurangan atau defisit sekalipun subsidi BBM cukup besar. Sehingga jika pertimbangannya adalah memenuhi kebutuhan rakyat alias bukan bisnis maka sebenarnya tidak soal jika APBN dipakai untuk menahan harga BBM.

Penutup

Kenaikan harga BBM karena pemerintah tidak mau lagi menambah subsidi BBM akan menyebabkan harga-harga naik tajam secara otomatis. Keadaan ini akan memukul rakyat. Kondisi ekonomi pasca-pandemi menjadi sangat berat bagi rakyat. []