Berturut-Turut Rezim Mempraktikkan Autocratic Legalism, Ugal-Ugalan Hukum Yang Legal

Last Updated: 8 Januari 2024By

Oleh : Pujo Nugroho

DPR RI resmi mengesahkan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi Undang-Undang (UU) melalui Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024. Delapan dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU IKN ini. Fraksi partai yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, PAN. Partai Demokrat menyetujui dengan catatan, sedangkan PKS menolak.

Sebelumnya UU IKN disahkan 15 Februari 2022, belum genap setahun disahkan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tersebut diusulkan direvisi oleh pemerintah. Kementerian Hukum dan HAM, serta DPR RI pun menyetujui arahan Presiden Jokowi untuk memasukkan revisi ini ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2023. Revisi UU IKN tersebutpun akhirnya disahkan awal bulan ini.

Ada yang menarik pada salah satu pasal pada revisi UU IKN yang baru disahkan tersebut, yakni Pasal 42 Ayat (1). Pasal tersebut menyatakan setiap undang-undang yang bertentangan dengan kebijakan pembangunan IKN dinyatakan tidak berlaku.

Dengan pasal ini maka semua peraturan dan perundang-undangan yang bertentang dengan UU IKN ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal sapu jagat semacam itu tampaknya sengaja dibuat agar segala ketentuan dalam UU IKN hasil revisi menjadi legal, meski bertentangan dengan undang-undang lainnya.

Praktik ugal-ugalan hukum ini disebut-sebut sebagai praktik autocratic legalism. Setidaknya ada tiga ciri autocratic legalism. Pertama, cenderung tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembahasan regulasi. Kedua, pembentukan hukum justru melanggar prinsip hukum itu sendiri. Dan, ketiga, proses pembentukan hukum berjalan ugal-ugalan serta tak bisa dikontrol siapa pun.

Bentuk output autocratic legalism adalah undang-undang itu sendiri. Meski undang-undang tersebut penuh otoriter namun legal dan sah secara hukum.

Bahkan UU IKN sendiri sejak awal, sebelum direvisi, bisa dinyatakan autocratic legalism ia hanya membutuhkan 43 hari untuk disahkan, terhitung sejak 7 Desember 2021. Sebuah proses yang cepat dan karena begitu cepatnya patut diduga tanpa melibatkan publik. Pun kemudian revisi yang baru ini, yang disebut di atas mengandung pasal sapu jagat.

Beberapa undang-undang yang lahir dengan gaya autocratic legalism pada era rezim Jokowi lainnya adalah UU Ciptakerja dan UU KPK. Dua undang-undang ini mendapat gelombang demonstrasi penolakan yang besar namun pemerintah dan DPR bergeming tetap mensahkan.

Begitu pula dengan kasus penggusuran di Rempang baru-baru ini. Juga mencerminkan autocratic legalism. Di mana penggusuran seolah menjadi legal dengan kartu truf Proyek Strategis Nasional (PSN). Sebuah proyek swasta yang masuk ke dalam PSN.

Jika sebuah proyek bisnis sudah masuk dalam PSN maka memiliki perisai hukum yang amat kuat. Landasannya adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Salah satu tindakan yang diatur dalam Inpres No 1/2016 adalah menyelesaikan masalah dan hambatan dalam pelaksanaan atau percepatan PSN berupa antara lain dengan mengambil diskresi dalam rangka mengatasi persoalan yang konkret dan mendesak.

Inilah bentuk-bentuk auticratic legalism yang dipraktikan oleh pemerintah dan legislatif saat ini. Indikasinya amat kuat. Di antaranya adalah pertama, pelemahan DPR, ditandai dengan partai politik koalisi yang mendukung pemerintahan sangat kuat. Apapun usulan pemerintah saat ini hamper bisa dikatan pasti disetujui DPR. Revisi UU IKN di atas nyaris disetujui semua fraksi dan hanya satu fraksi yang menolak. Kedua, pelemahan masyarakat sipil melalui penerapan UU ITE dan penegakannya. Pembungkaman kritik dilakukan secara hukum.

Karena itu praktik autocratic legalism menunjukkan bahwa jargon demokrasi “egaliter dan sesuai keinginan rakyat” hanyalah omong kosong belaka. Undang-undang yang memihak kepentingan investor dan swasta lebih mencolok dibanding kepentingan umum.[]