Berpikir Multidimensi
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial,
Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE).
Salah satu sebab gagalnya aneka cara mengatasi pandemi, sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, adalah ketika mayoritas orang berpikir dangkal. Berpikir dangkal adalah sekedar memindahkan realitas ke otak, tanpa berusaha mengindera hal-hal terkait, lalu menghubungkannya dengan info lampau yang relevan.
Berpikir dangkal ini bukan cuma monopoli orang awam, namun ternyata juga terjadi pada kaum agamawan, ilmuwan atau negarawan (politisi).
Sebagian agamawan berpikir dangkal ketika malas menghubungkan agama sebagai keahlian mereka dengan sains & politik. Fakta, banyak ulama hari ini buta sains, sehingga ketika bicara sains hasilnya “ambyar”, seperti percaya bumi datar, menyangkal bahwa covid-19 adalah pandemi atau menentang vaksinasi. Sementara itu, mereka juga buta politik, sehingga sering kurang menyadari ketika dimanfaatkan oleh para petualang politik untuk mendukung mereka meraih kekuasaan.
Sebagian ilmuwan berpikir dangkal ketika malas berpikir religius & politis. Mereka bahkan memandang, agama hanya membawa kejumudan, bukan kemajuan sains. Sementara itu, ilmuwan juga jarang yang tertarik politik, kecuali hanya sekedar ngerumpi di warung kopi. Bagi mereka yang penting bisa tetap berkarya, tidak peduli apakah di bawah pemerintah kolonial atau nasional, di bawah Orde Nasakom, Orde Baru atau Orde Reformasi.
Sayangnya sebagian politisi sendiri juga berpikir dangkal, dengan malas berpikir saintifik & religius. Akibatnya banyak keputusan politik yang “ambyar”, keliru secara saintifik, syirik menurut agama, atau mendzalimi umat. Bagi politisi ini, kaum agamawan hanya perlu untuk meraih dukungan grassroot. Sedang kaum ilmuwan perlu untuk memberi legitimasi akademis pada kekuasaan.
Sementara itu banyak kalangan hartawan atau pengusaha tidak peduli agama, sains maupun politik. Mereka akan berbuat apa saja selama menghasilkan “cuan”, sekalipun tergolong syirik atau maksiat, bertentangan dengan sains, atau itu akan meningkatkan ketergantungan kepada asing.
Karena dilandasi berpikir dangkal, maka PPKM darurat di lapangan menghasilkan hal-hal yang kontraproduktif.
Contoh:
(1) Maksudnya biar orang tidak keluyuran malam-malam, terus Penerangan Jalan Umum dimatikan. Akibatnya yang memang malam-malam perlu beli obat, jadi takut keluar. Pesan antar juga yang akan mengantar takut. Akibatnya obat telat dan pasien dalam bahaya.
(2). Maksudnya biar orang asing yang “tidak jelas” tidak masuk komplek permukiman, terus diportal di mana-mana. Akibatnya, kurir layanan pesan makanan online atau antar obat online jadi kesulitan. Orang-orang yang isoman jadi telat mendapatkan barang yang mereka butuhkan.
(3). Maksudnya biar orang tidak berkerumun di area komersial. Terus jalan akses masuk kawasan itu dipasang barrikade. Padahal di kawasan itu juga ada klinik. Jadi orang yang mau ke klinik ikut kesulitan.
(4). Maksudnya biar orang tak saling menularkan virus saat makan-makan di warung. Terus satpol PP menyerbu warung-warung itu, menyita dagangannya, bahkan meja/kursinya. Akibatnya yang jualan maupun yang beli ngamuk. Mereka tidak mendukung PPKM.
(5). Maksudnya biar orang tidak pada bepergian, terus jam layanan angkutan umum dibatasi. Akibatnya, justru terjadi penumpukan.
(6). Maksudnya biar orang tidak berkerumun di tengah kota, lalu semua jalan akses utama masuk kota ditutup. Akibatnya di jalan-jalan tikus terjadi kerumunan.
Inilah “Memecahkan Masalah Tanpa Solusi” !
Pemerintah memang menjalankan tugasnya dengan memberi perintah dan larangan. Namun kalau “pokoknya” memerintah & melarang, itu bukan solusi. Solusi itu bila semua perintah & larangan itu tepat dapat menyelesaikan setiap problem yang terjadi dan mungkin akan terjadi secara tuntas dan manusiawi. Optimal secara ilmiah, melegakan secara agama.
Padahal di era keemasan peradaban Islam, kedangkalan berpikir seperti itu tidak banyak terjadi. Orang biasa berpikir multidimensi. Pakarnya disebut polymath.
Ibaratnya kita berada di dalam sebuah kubus. Sumbu X adalah sumbu ilmiah tempat kecerdasan intelektual diasah. Sumbu Y adalah sumbu politis, di mana dibutuhkan kecerdasan emosional. Sedang sumbu Z adalah sumbu agama, di mana kecerdasan spiritual dominan.
Ketika nilai X,Y, dan Z seimbang, agama, sains dan politik tidak saling menegasikan. Seluruh hasil pikirannya serasi. Dia berpikir mendalam, multidimensi.
Kaum agamawan yang berpikir multidimensi tak menjadi angkuh. Sekalipun dia tetap kritis pada pemerintah, tapi tetap mentaati protokol kesehatan karena berdasarkan sains. Keyakinannya pada taqdir tidak menjadikan dirinya egois, karena menjaga jiwa manusia adalah bagian dari maqashid syari’ah juga.
Kaum ilmuwan yang berpikir multidimensi tak menjadi atheis baru yang “menyembah” sains. Dia menyadari bahwa agama bisa menginspirasi teknologi, mengarahkan agar selalu manusiawi, dan tahu diri keterbatasannya.
Dan kaum negarawan yang berpikir multidimensi akan semakin bijak, tidak memandang agama dan sains hanya pelengkap saja, namun justru pilar utama tegaknya suatu peradaban, negara yang maju, berdaulat dan berkah.
Bila berpikir mendalam ini dapat membawa kita merasakan kehadiran Tuhan dan benarnya janji akherat, di segala fenomena yang kita hadapi, bahkan di tiap hembusan angin atau cahaya lembut matahari, maka kita telah berpikir tercerahkan (mustanir).
(Republika, 9 Juli 2021)