
Oleh: Haris Abu Muthiah
Aliansi Pengusaha Muslim – Pada bahasan sebelumnya telah dijelaskan poin pertama dari tiga hal yang membuat Hilal (45) seorang pengusaha muda menyesal dan memilih untuk hijrah. Poin kedua adalah ia menemukan hakekat dirinya hidup di dunia. Misi hidup manusia hidup di dunia untuk beribadah.
Aktualisasi ibadah terwujud ketika seorang muslim mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syara’ dalam segala aktivitasnya, baik ketika berhubungan dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan ibadah, dirinya sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman, dan pakaian, maupun berinteraksi dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan uqubat (hukuman dan sanksi).
Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus).
Begitu pula tatkala dia bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap amanah, menepati janji, mengkaji ajaran Islam, aktif berdakwah atau dalam kegiatan keIslaman, memerintahkan isteri atau anak perempuannya berjilbab, membantu orang lain berhenti memakai pinjaman riba, juga tengah menjalankan misi ibadah dalam arti luas.
Sebaliknya, tatkala seseorang memberi atau menerima suap, berzina, memakan harta riba, membiarkan riba merajalela di tengah masyarakat, dikatakan ia telah telah melakukan maksiat kepada Allah. ia telah lupa terhadap hakikat keberadaannya di dunia.
Demikian pula halnya bila dia mengambil sebahagian dan menolak sebahagian isi kandungan Alquran. menerima perintah puasa dan shalat dan menolak larangan riba, menolak perintah jilbab dan rajam; berarti dia telah lalai dari arti hakikat hidupnya di dunia, yaitu beribadah kepada Allah.
Ketiga, paham amalnya dipertangungjawabkan diakhirat. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kedua telapak kaki seorang anak Adam di Hari Kiamat masih belum beranjak sebelum ditanya kepadanya mengenai 5 (lima perkara), yaitu tentang umurnya, untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya, apa yang dilakukannya, tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan, dan tentang ilmunya, apa yang dia kerjakan dengan ilmunya itu.” (HR Ahmad).
Terkait harta, Allah hanya menerima harta yang bersih. Lalu bagaimana jika harta itu diperoleh dari jalan riba dan meninggal sebelum taubat?
Allah swt berfirman dalam surah albaqarah: 275 menjelaskan, bahwa “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Rasulullah menegaskan bahwa dalam riwayat Hakim, Riba itu ada 73 pintu, yang paling ringan, seperti orang yang berzina dengan ibunya. Dan riba yang paling riba adalah merusak kehormatan seorang muslim.
Akhirnya, nampak jelas bahwa meninggalkan harta riba bukan hanya persoalan halal-haram, tapi surga-neraka. Ketika seorang muslim memastikan hartanya bersih dalam pandangan Allah, berarti ia telah memantaskan dirinya masuk dalam syurganya, Aamiin. Wallahu a’lam. [] Haris Abu Muthiah