Categories: Editorial

assalim

Share

Aliansi Pengusaha Muslim – Hari-hari ini kita menghadapi situasi yang sangat berat. Sampai tanggal 22 Maret 2020 yang positif mengidap Covid-19 sebanyak 514 orang dan meninggal 48 orang.

Tenaga kesehatan yang terjun menangani wabah inipun berguguran. Ada sebanyak 6 dokter yang meninggal dunia dengan dugaan PDP Covid-19 (cnnindonesia.com, 22/3/2020). Pada Jumat (20/3/2020) Anies Baswedan menyebutkan sebanyak 25 tenaga medis yang terkonfirmasi positif Covid-19 (cnnindonesia.com, 20/3/2020).

Yang paling memperihatinkan menurut Sekretaris Jenderal IDI, Adib Khumaidi, salah satu faktor yang menjadi sebab kematian enam dokter IDI diduga karena jumlah Alat Pelindung Diri (APD) yang minim. Kekurangan jumlah APD saat ini disebabkan karena stoknya yang menipis dan langka. Dan kelangkaan APD saat ini hampir terjadi di semua rumah sakit.

Kita pun disajikan foto dan video yang memperihatinkan di berbagai media di mana para petugas medis yang terpaksa menggunakan jas hujan sebagai APD mereka.

Di sisi lain didapati fakta penimbunan dan penjualan dengan harga tinggi beberapa ADP. Misalnya masker. Satu boks masker bedah (surgical mask) dijual Rp 270 ribu hingga Rp 400 ribu. Sedangkan masker N95 mencapai Rp 1,1 juta harganya (tempo.co, 3/3/2020). Polisi juga menemukan aksi penimbunan. Di Jakarta Timur ditemukan penimbunan masker 23 ribu lembar dan 9 ribu lembar.

Uniknya Presiden Jokowi pernah berkata bahwa stok masker tersedia kurang lebih 50 juta jumlahnya (cnnindonesia.com, 3/3/2020). Lalu di manakan masker-masker tersebut di saat para petugas medis dan masyarakat membutuhkannya? Dan kita belum berbicara tentang alat pendeteksi virus yang keberadaannya sangat amat penting untuk menuntaskan penyebaran virus ini yang sampai sekarang kalau kita ikuti masih simpang siur beritanya.

Penimbunan (al-ihtikâr) secara mutlak adalah haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadits secara jelas dan gamblang. Nabi shalallahu’alaihiwassalam bersabda, ”Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.” (HR Muslim).

Di riwayat yang lain disebutkan, ”Siapa saja yang menimbun, dia berbuat kesalahan.” (HR Muslim).

Terkait makanan, Al-Qasim telah meriwayatkan dari Abu Umamah yang berkata, ”Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam telah melarang makanan ditimbun” (HR al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah).

Larangan dalam hadits tersebut bersifat thalab at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan). Celaan terhadap orang yang menimbun (al-muhtakir) dengan mensifati pelakunya sebagai orang yang berbuat kesalahan (al-khâthi’) adalah orang yang berdosa lagi bermaksiat. Ini merupakan qarînah (indikasi) yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkannya.

Dalam Islam penimbun dijatuhi sanksi ta’zîr. Dia dipaksa untuk mengeluarkan barangnya dan menghadirkan di pasar dengan harga pasar. Akan tetapi Negara tidak berhak mematok harganya. Hadits Nabi shalallahu’alaihiwassalam berbunyi,

Harga melonjak pada masa Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam. Lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah, andai saja Anda mematok harga.” Beliau bersabda, “Sungguh Allah-lah Yang Menciptakan, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Memberi Rezeki dan Yang Menetapkan Harga. Aku sungguh berharap menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun yang menuntutku dengan kezaliman yang aku lakukan kepada dia dalam hal darah dan tidak pula harta.” (HR Ahmad).

Di hadits lain disebutkan,
Seorang laki-laki datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau menjawab, “Akan tetapi, saya berdoa.” Kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga!” Beliau bersabda, “Akan tetapi, Allah-lah yang menurunkan dan menaikkan (harga).” (HR Abu Dawud).

Jika barang yang dimaksud tidak ada kecuali pada orang yang menimbun –dan ia menjual dengan harga tinggi– sehingga ia bisa mengendalikan harga, maka negara harus menyediakan barang tersebut atau barang sejenis di pasar. Dengan mekanisme ini mau tidak mau harga akan turun dengan sendirinya sehingga tidak seorang pun pedagang yang bisa mengendalikan harga.

Oleh karena itu, dalam keadaan krisis pandemi berbahaya seperti ini Negara wajib mengadakan barang yang dibutuhkan masyarakat. Negara wajib mengupayakan barang tersebut dengan berbagai cara, seperti memproduksi, mendatangkan, atau lainnya.

Khalifah Umar bin al-Khaththab pada masa paceklik mengirim surat kepada wali-nya (gubernur) untuk mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz. Pada saat itu, karena krisis, meski tidak ada yang menimbun harga makanan melonjak naik karena memang semakin langka. Khalifah Umar r.a. tidak mematok harga tetapi beliau meminta para wali untuk mengirimkan bahan makanan hingga krisis tersebut berakhir.

Memelihara kemaslahatan masyarakat adalah tanggung jawab negara terlebih lagi para petugas medis yang menjadi ujung tombak penanganan pandemi. Kesulitan Negara menghadirkan dan menjaga keberadaan bahan-bahan pokok dan peralatan penanganan bencana menunjukkan bahwa Negara dalam keadaan lemah, baik kemampuan memproduksinya atau kemampuan keuanggannya. Hal ini adalah pelajaran berharga bahwa Negara mestinya benar-benar memperhatikan kemampuan ekonominya. Tidak mudah mengobral sumber daya alam dan tidak mengandalkan utang. Wallahua’lam bishshowab.

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts