
Editorial Assalim.id | Edisi 91
Oleh: Pujo Nugroho
Assalim.id – Beberapa bulan terakhir hingga hari ini Indonesia dibelit persoalan minyak goreng. Desember akhir tahun 2021 lalu harganya menjulang hingga menyentuh Rp 22.000 per liter bahkan di daerah bisa mencapai Rp 31.500 lebih seperti terjadi di Aceh (databoks.katadata.co.id, 28/1/2022).
Kementerian Perdagangan (Kemendag) sempat “mengunci” harga eceran tertingginya Rp 14.000 pada 19 Januari 2022 lalu. Bahkan Mendag yakin harga minyak goreng akan turun menjadi Rp 11.500. Namun persoalan tidak kunjung selesai. Harganya dikunci murah tapi barangnya kosong. Demand tetap sedang barang tidak ada menyebabkan harga tetap tidak stabil.
Di masyarakat persoalan harga ini makin “panas” pasalnya di Malaysia dikabarkan harganya hanya Rp 8.000 per liter. Sama-sama produsen crude palm oil (CPO) tapi di Malaysia harganya stabil dan terbilang jauh lebih murah di banding Indonesia. Hal ini mengemuka seperti yang disampaikan salah satu anggota komisi VI DPR RI.
Harga yang mencekik ini ibarat dagelan. Kejadian lucu karena sulit diterima logika tapi bukannya tawa yang hadir melainkan tangis rakyat.
Indonesia adalah produsen CPO nomor satu terbesar dunia sejak tahun 2006 (jpnn.com, 14/10/2021). Tentu langkanya minyak goreng di pasaran adalah sebuah ironi.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan mahalnya minyak goreng di Indonesia ibarat ayam yang mati di lumbung padi.
“Dalam gejolak minyak goreng di pasar ibarat ayam mati di lumbung padi. Mengapa, karena kita penghasil CPO yang terbesar tapi negara gagal memasok harga minyak yang rasional kepada masyarakat dengan harga yang tinggi bahkan kalah jauh dengan Malaysia. Ini malah sebaliknya, penghasil CPO terbesar tapi harganya malah yang termahal,” ujarnya dikutip Kompas.com (04/02/2022).
Kenaikan harga minyak goreng yang berakibat hilangnya ia di pasaran diduga karena permainan kartel. Hal ini diungkap oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Indikasinya terlihat ketika perusahaan besar di industri minyak sawit kompak menaikkan harga.
Dari hasil penelitian yang mereka lakukan, tim KPPU melihat konsentrasi pasar (CR4) minyak goreng hanya sebesar 46,5 persen dan dimotori oleh empat produsen besar.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi menyebut, pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng.
Praktik kartel ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang menguasai industri CPO dari hulu hingga hilir. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Bidang Kesejahteraan Rakyat Wahida Baharuddin Upa di sinilah oligarki bermain.
“Ini berarti, sektor perkebunan kelapa sawit dan produksi turunannya seperti minyak goreng hanya dikuasai dan dikontrol oleh segelintir orang,” tukasnya (jpnn.com, 31/1/2022).
Para oligarki ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya di tengah harga CPO internasional yang sedang naik tinggi dengan memilih menjualnga ke luar negeri.
“Artinya, 72,9 persen produksi CPO nasional di bawa ke luar negeri,” terangnya.
Dampaknya pasokan bahan baku minyak goreng dalam negeri seret berimbas pada supply minyak goreng di pasaran dalam negeri.
Peran Negara
Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan dasar rakyat. Di sisi lain industri kelapa sawit mesti dikuasai negara. Terlebih lagi sebenarnya para konglomerat pemain industri CPO menggunakan tanah negara dengan status HGU dan sebagainya.
Kita melihat kedudukan sebagai produsen CPO nomor satu dunia tidak memberikan dampak signifikan kepada kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Hasil ekonomi industri ini terpusat kepada beberapa individu.
Bukan saja stabilnya harga dan ketersediaan di pasar, penguasaan negara atas industri ini akan menghasilkan kesejahteraan secara merata.[]