Categories: Ulasan Utama

assalim

Share

Oleh  M Azzam Al Fatih

Baliho para pejabat dan tokoh politik mulai terpasang di sudut-sudut kota. Seperti Politisi PDIP Puan Maharani, Ketua Golkar Airlangga Sucipto, dan Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar. Mereka berpose dengan senyum penuh pesona, seakan membawa isyarat penting. Berbusana penuh gaya dengan berharap agar menjadi perhatian publik.

Baliho-baliho tersebut sarat berbau politik sebab foto yang terpampang adalah figur tokoh politik. Apalagi ada yang yang terang-terangan mengajak menuju 2024. Jika kita menengok kebelakang, yakni pada tahun-tahun sebelumnya tatkala mendekati pemilu. Para tokoh politik juga telah ancang-ancang demi menaikkan elektabilitasnya. Maka maraknya baliho – baliho saat ini terindikasi untuk menaikkan elektabilitas demi meraih kemenangan pada pemilu di tahun 2024. Selain itu, maraknya baliho dengan figur tokoh politik sudah menjadi tradisi demokrasi. 

Ironisnya lagi, maraknya baliho tersebut terpasang di tengah pandemi. Di saat rakyat dalam ancaman kematian baik akibat virus Covid 19 atau kelaparan karena susahnya ekonomi yang disebabkan kurangnya perhatian negara dalam meri’ayah rakyatnya.

Hendri Satrio pengamat komunikasi politik masa dari Universitas paramadina
dalam kesempatan menanggapi maraknya baliho. Menurutnya maraknya baliho di tengah kesulitan rakyat kecil  pandemi virus Corona adalah tidak tepat. Harusnya para politisi tersebut peka terhadap kondisi yang sedang dialami rakyat kecil. Bahkan Hendri sampai mengatakan ‘mereka kan orang pintar, masak harus dikasih tahu’. (Kompas.com, 3 Agustus 2021).

Namun pada dasarnya, politik dalam demokrasi memang demikian. Tidak peduli terhadap nasib rakyat dalam kondisi apapun. Bahkan rakyat hanya menjadi alat, tangga untuk meraih kekuasaan. Di awal pemilu mereka berlomba dan berebut suara namun setelahnya dilupakan. Slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanya sebuah ungkapan. Padahal sejatinya dari kapitalis oleh kapitalis dan untuk kapitalis. Demokrasi hanya menyejahterakan pemodal dan para bonekanya.

Demokrasi juga menimbulkan pertentangan antar tokoh politik. Sebab demokrasi sejatinya cacat sejak lahir. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Dia menyebutkan demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme. Maka wajar, jika demokrasi hanya memberi kesejahteraan para elit pejabat dan konglomerat.

Hanya dengan sistem Islamlah, pelayan terbaik bagi rakyat terwujud. Sebab dalam melayaninya didasari rasa ketaqwaan kepada Allah SWT. Yang mana setiap perbuatan baiknya mendapat pahala serta pembuatan buruk mendapatkan siksa. Selain itu seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. 

Di dalam Islam pula, seorang tokoh politik tidak perlu bergaya dengan baliho untuk menarik simpati rakyat. Mereka yang terpilih karena kualitas ketaatan kepada Allah SWT dan yang layak untuk menjadi pemimpin umat dalam kacamata Islam. Makanya dalam sejarah peradaban Islam telah melahirkan pemimpin hebat dan amanah yang dapat mewujudkan kehidupan yang sejahtera seluruh manusia. Wallahua’lam bishowwab.

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts