Bagi Hasil Mudharabah Ditetapkan Dalam Nominal (Sejumlah Uang), Bolehkah?
Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Aliansi Pengusaha Muslim – Soal: Ustadz, bolehkah bagi hasil dalam mudharabah ditetapkan dalam nominal rupiah, bukan dalam nisbah (persentase) dari laba? Misal, dalam suatu akad mudharabah pemodal (shahibul mal) berkontribusi modal 2,5 juta rupiah kepada mudharib (pengelola modal), digunakan untuk berdagang 1 unit komputer dalam jangka 2 minggu. Lalu disepakati bahwa profit yang akan diperoleh, yakni sebesar Rp 500 ribu, dibagi masing-masing Rp 250 ribu untuk pemodal dan Rp 250 ribu untuk pengelola modal. Bolehkah bagi hasil seperti ini? (Siti, Surabaya)
Jawab: Tidak boleh keuntungan (laba) dalam syirkah mudharabah ditetapkan dalam jumlah uang tertentu, seperti sepuluh dinar, sepuluh dirham, dan seterusnya. Keuntungan dalam syirkah mudharabah wajib ditetapkan dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari laba, misalnya 40 persen laba bagi shahibul mal (pemodal) dan 60 persen laba bagi mudharib (pengelola modal). (Abdul Aziz Al Khayyath, As Syarikat fi Dhau` Al Islam, hlm. 17; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 4/850).
Dalam kitab As Syarikat fi Dhau` Al Islam, Syaikh Abdul Aziz Al Khayyath ketika menjelaskan syarat-syarat keuntungan (ar ribh) dalam syirkah mudharabah menyatakan:
“Tidak boleh menetapkan keuntungan dengan jumlah uang tertentu misalnya sepuluh dinar, karena kemungkinan keuntungan yang diperoleh hanya sejumlah uang yang telah ditetapkan hanya bagi salah satu dari dua pihak, sehingga hakikatnya syirkah tidak terwujud.” (Abdul Aziz Al Khayyath, As Syarikat fi Dhau` Al Islam, t.tp. : Darus Salam, 1989, hlm. 17).
Pendapat tersebut disimpulkan oleh Syaikh Abdul Aziz Al Khayyath dari sejumlah pendapat ulama mujtahid dan kitab-kitab karya mereka yaitu : (1) Imam Al Kasani, Badai’us Shana
i’, 7/3537; (2) Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/16-34; (3) Manshur bin Yunus Al Bahuti, Ar Raudhul Murabbi’ Syarah Zadul Mustaqni’, 1/209; (4) Ibnu Qadhi Samawanah, Jami’ Al Fushuliyyin, 2/42. (Lihat : Abdul Aziz Al Khayyath, As Syarikat fi DhauAl Islam, hlm. 17; lihat juga Abdul Aziz Al Khayyath, As Syarikat fi As Syari’ah Al Islamiyyah wa Al Qanun Al Wadh’i, Beirut : Mu
assah Ar Risalah, 1982, 1/169).
Jika dalam mudharabah disyaratkan bahwa keuntungan ditetapkan dalam jumlah uang tertentu, maka syarat ini tidak sah dan akad mudharabahnya menjadi fasad (rusak). Dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili:
“Maka jika dua pihak yang berakad itu menyaratkan jumlah keuntungan yang pasti dan tertentu, misalnya keduanya mensyaratkan salah satu pihak mendapat 100 dinar atau bisa saja kurang atau lebih dari itu, sedang keuntungan sisanya untuk pihak lainnya, maka syarat ini tidak sah dan akad mudharabahnya menjadi fasid (rusak).” (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Damaskus : Darul Fikr, Cetakan III, 1989, 4/850)
Kesimpulannya, bagi hasil yang ditanyakan di atas tidak sah (fasad). Karena cara bagi hasilnya tidak sesuai dengan cara bagi hasil dalam syirkah mudharabah yang syar’i. Bagi hasil yang syar’i wajib dinyatakan dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari laba, tidak boleh dinyatakan dalam jumlah nominal uang yang tertentu.
Bagaimana selanjutnya menangani mudharabah yang fasad tersebut? Jika mudharabah itu sedang berjalan dan belum berakhir (belum menghasilkan laba), maka cukup dikoreksi dengan mengubah cara bagi hasilnya agar sesuai dengan ketentuan syariah. Adapun jika mudharabah fasad ini sudah terlanjur terjadi dan menghasilkan laba, maka keseluruhan labanya menjadi hak pemodal saja (shahibul mal). Sebaliknya jika rugi maka seluruh kerugiannya juga ditanggung hanya oleh pemodal saja. Jadi pihak pengelola modal dianggap tidak berhak mendapatkan keuntungan, sebagaimana pengelola modal juga tidak dibebani kerugian apapun.
Namun demikian, pengelola modal (mudharib), berhak mendapatkan ajrul mitsil, tanpa melihat lagi apakah muamalah ini rugi atau untung. Ajrul mitsil merupakan kompensasi yang semisal, yaitu pembayaran yang umumnya diterima pengelola modal (mudharib) untuk semisal mudharabah yang ada di tengah masyarakat. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, bab Hukm Al Mudharabah Al Fasidah, 4/851-852). Wallahu a’lam.[]