Babak Baru Periodisasi Peradaban Global
Aliansi Pengusaha Muslim – Dalam konteks ilmu hubungan internasional, pembabakan atau periodisasi paradaban politik ekonomi global sangat penting. Hal ini biasanya ditandai dengan terjadinya sebuah peristiwa besar dan penting. Periodisasi ini berguna untuk memahami dan menafsirkan dinamika hubungan internasional yang terjadi dalam kurun waktu tertentu (Green; 1992).
Ada beberapa point penting yang mendasari periodisasi. Pertama, terjadinya peristiwa penting yang dampaknya sangat besar sehingga mempengaruhi kondisi politik ekonomi semua negara di dunia tanpa terkecuali. Negara kaya maupun miskin menghadapi krisis yang sama dan mereka harus berjuang agar bisa survive dalam kondisi yang sangat tidak menentu tersebut.
Kedua, tingkat kematian yang ditimbulkan sangat tinggi. Sehingga semua negara seakan berada dalam bayangan kematian kolektif. Ketiga, peristiwa-peristiwa di atas mempengaruhi semua negara dalam praktik hubungan internasional, pokitik dan ekonomi global di masa depan.
Sehingga logis jika para analis memprediksi bahwa pandemi Covid-19 sebagai trigger lahirnya babak baru dalam periodisasi politik ekonomi global. Fakta ini dapat dilihat dua aspek.
Aspek kesehatan, dari data yang dirilis Worldometers, rabu (17/6/2020) yang menginformasikan bahwa total kasus Covid-19 di dunia terkonfirmasi sebanyak 8.248.185 (8,2 juta) kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 445.144 atau hampir (½ juta) orang meninggal dunia, dan terus meningkat sampai saat ini. Dan selanjutnya aspek ekonomi, pandemi ini berakibat resesi ekonomi global. Lihat saja empat bulan terakhir, terjadi pengurangan aktivitas ekonomi dan industri yang masif di seluruh dunia. Asian Development Bank (ADB) melaporkan bahwa kerugian ekonomi global yang ditimbulkan pandemic ini meremukkan perekonomian dunia. Secara global, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai USD 5,8 triliun (Rp86 kuadriliun) hingga USD 8,8 triliun (Rp131,06 kuadriliun) (15/5/2020).
Bahkan, badan pangan PBB, World Food Program (21/4/2020), menyatakan bahwa wabah ini akan diikuti dengan pandemi kelaparan, khususnya di negara-negara miskin. Fenomena tersebut berarti bahwa Covid-19 tidak hanya membahayakan nyawa para penderitanya langsung, tetapi juga miliaran manusia non penderita yang sangat terdampak kehidupannya.
Kalau kita tarik kebelakang, teori periodisasi para orientalis dunia saat ini bukanlah hal baru dalam khazanah pemikiran islam, apa yang mereka teorikan itu sudah pernah diungkapkan oleh Ibnu Khaldun di abad 14, seorang pemikir dan Ilmuwan muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” yang dianggap sebagai cikal bakal dari kelahiran Ilmu Sosiologi.
Ibnu Khaldun meyakini bahwa kehidupan manusia akan selalu mengalami proses dan perubahan. Ini adalah sebuah sunnatullah, hal ini juga dipercaya dan diterima semua keyakinan, ideologi dan agama didunia saat ini.
Bedanya, umat Islam memahami itu semua dari tuntunan wahyu dari Al-Qur’an, bahwa sejak awal kehidupan manusia hingga hari kiamat senantiasa terjadi siklus masa kejayaan dan kehancuran dari berbagai masyarakat, umat maupun peradaban yang ada.
”Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia …” (QS Ali Imran:140).
Dalam teori siklus sejarah, Ibnu Khaldun pun menjelaskan adanya siklus atau fase-fase, di mana peradaban lahir, tumbuh, berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya, kemudian mengalami kemunduran, hingga akhirnya mengalami keruntuhan sama sekali.
Menurut Tarif Khalidi dalam buku Classical Arab Islam The Culture and Heritage of the Golden Age “Ilmu umran” (peradaban dan masyarakat) dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun mencerminkan sebuah science of social biology or biology of civilization (ilmu biologi sosial atau biologi peradaban).
Peradaban yang dikenal dalam pemahaman modern sebagai “hadharah”. Dan Ibnu Khaldun meyakini bahwa sumber kehancuran peradaban berawal dari lima hal, pertama, ketika terjadi ketidakadilan (kesenjangan antara kaya dan miskin). Kedua merajalelanya penindasan kelompok kuat terhadap kelompok lemah (negara kuat menindas negara lemah dan negara lemah harus mengikutinya). Ketiga, runtuhnya moralitas pemimpin negara (korupsi, pidana, dll).
Keempat, adanya pemimpin tertutup yang tidak mau dikritik, dan yang mengkritik akan dihukum. Kelima, terjadinya bencana besar atau wabah. Kalau semua itu telah nyata, maka tidak ada satupun peradaban yang selamat dari ‘penyakit’ semacam itu, tak terkecuali peradaban Islam di masa belakangan.
Dari sinilah nampak solusi dari Ibnu Khaldun, bahwa peradaban ‘hadharah’ dengan segala kekuasaan dan kejayaannya wajib diatur dan dilandasi syariah Allah secara terus-menerus. Kerangka sejarah Ibnu Khaldun inilah yang berujung kepada keharusan bermoral (beradab) dan menegakan Syariah Allah dalam tata kelola hadharah (peradaban).[] Agan Salim