
Aliansi Pengusaha Muslim – Pendapatan negara secara keseluruhan merupakan “nafas kehidupan” bagi keberlangsungan APBN. Sebab, pengelolaan kebijakan fiskal akan sangat terbebani jika penerimaan negara justru menggambarkan apa yang dalam peribahasa “besar pasak daripada tiang”.
Kondisi pandemi saat ini membuat ‘penerimaan negara’ menurun sangat drastis. Hal ini memaksa pemerintah untuk menunda/mengurangi beberapa rencana belanja negara, kemudian dialihkan untuk penanganan covid-19 yang belum pasti kapan berakhirnya. Rasionalisasi anggaran seperti ini pasti diberlakukan akibat dari “keterbatasan” APBN.
Selain pemangkasan anggaran belanja, pemerintah juga mencari dana “potensial” yang sekiranya dapat dimanfaatkan segera untuk menutupi defisit anggaran, seperti menaikkan iuran BPJS, menambah utang baru, pemanfaatan dana haji untuk investasi, dan sederet kebijakan yang terkesan “irasional”, karena kebijakan tersebut dieksekusi pada saat pandemi.
Wajar akhirnya bila ada pertanyaan kenapa kok jadi penanganan ekonomi bukan penanganan kesehatan (Covid-19)?
Melalui laman detik.com, (5/6/2020) diberitakan bahwa baru-baru ini pemerintah telah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 mengenai penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Pemerintah akan memotong 3 persen dari gaji (ASN). Dimana BP-Tapera berhak menginvestasikan simpanan peserta melalui mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK).
Sebenarnya, “kembang-kempis” nafas APBN yang terjadi hari ini bukan hanya saat pandemi seperti sekarang, sebelum-sebelumnya penerimaan negara juga sangat terbatas. Hal ini dikarenakan sejak awal yang mendasari kebijakan pengelolaan fiskal adalah falsafah kapitalisme.
Padahal, kekayaan ekonomi dalam kapitalisme “terkumpul” di pasar bukan pada APBN. Secara kelembagaan pasar yang dimaksud disini adalah ‘bursa saham” atau “pasar modal” yang hanya dikuasai oleh segelintir para “cukong” atau kapitalis, tidak terkecuali di negara yang menganut sistem ekonomi “campuran” termasuk Indonesia.
Berbeda dengan Islam yang telah mewajibkan agar kekayaan ekonomi masyarakat dikelola melalui ‘baitul mal’. Dengan sendirinya kekayaan masyarakat “terkumpul” pada ‘baitul mal’, sehingga pemerintah dalam Islam bisa “bernafas dengan sangat lega” dalam mengurus kepentingan rakyatnya dikarenakan kecukupan dana, bahkan surplus!
Ini pula yang membedakan kenapa kapitalisme tidak memiliki konsep ‘distribusi kekayaan’ sebagaimana Islam, tetapi hanya konsep distribusi pendapatan. Jawaban sederhananya adalah karena APBN yang kapitalistik tidak didesain untuk memakmurkan rakyat melalui penerimaan negara yang berlimpah. Melainkan hanya mengandalkan penerimaan dari sektor perpajakan. Selebihnya grade-nya dibawah pajak.
Kalau demikian apakah APBN ala kapitalisme itu hebat? Saya rasa ini akan menjadi pertanyaan yang “tidak penting” lagi, karena secara faktual dengan mudah kita jumpai bahwa APBN yang kapitalistik itu memiskinkan masyarakat banyak. Sesungguhnya kejadian “malang” seperti ini tidak akan dijumpai di dalam negara yang menerapkan konsep ‘baitul mal’ sebagaimana yang ada di dalam sistem ekonomi Islam.
Sangat disayangkan, realitas malang APBN kapitalistik tersebut diatas hingga hari ini masih tetap dipertahankan. Padahal negeri ini adalah negeri yang kaya akan sumber daya. Kemakmuran masyarakat akan sangat mudah diwujudkan seandainya APBN bisa dikelola sebagaimana konsep ‘baitul mal’ dengan menerapkan syari’ah kaffah.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, hukum siapa yang lebih baik dari pada hukum Allah ta’ala bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Semoga keyakinan dan kesadaran kita kepada hukum-hukum Allah SWT semakin meningkat, sehingga jelas bagi kita mana yang seharusnya diikuti, yakni mengambil yang haq dan meninggalkan yang bathil. Wallahu a’lam. [] Muhammad Bakri