Apbn Berbasis Riba, Negara Mengundang Azab
Oleh : Pujo Nugroho
Pandemi Covid-19 yang sebelumnya sempat dianggap persoalan kecil oleh Pemerintah ternyata menghadirkan masalah besar. Anggaran APBN kita tidak dirancang untuk menghadapi bencana yang besar baik bencana alam atau wabah penyakit. Padahal negara kita secara geografis berada pada wilayah yang rawan bencana. Setidaknya kalau ada wabah penyakit seperti sekarang mestinya anggaran selalu ada.
Menurut Institute for Budget and Policy Studies (IBPS) pemerintah memiliki pos belanja darurat yang dapat digunakan. Pos tersebut adalah “Belanja Lain-lain” (detik.com, 17/3). Sungguh menyedihkan untuk urusan keselamatan pos anggarannya berupa “Anggaran Lain-lain”. Artinya memang tidak ada anggaran. Padahal negara kita adalah negara yang kaya.
Tidak ada solusi lain menurut pemerintah terkecuali berutang. Dengan menerbitkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 Presiden Jokowi menaikkan pembiayaan anggaran dari utang. Nilainya naik dari Rp351,85 triliun menjadi Rp1.006,4 triliun. Nyaris tiga kali lipat.
Berbicara tentang utang kita akan berbicara bunga. Misalnya SBN global bond yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang nilainya US$ 4,3 miliar atau setara Rp 67,5 triliun. Tenor jatuh temponya hingga 50 tahun, juga terlama sepanjang sejarah negeri ini. Besaran kuponnya yaitu 3,8 %, 4,2 %, dan 4,45 %.
Sebagai catatan pada tahun 2019 kita membayar bunga utang sebesar Rp 275 triliun. Pun dengan cara berutang.
Bayangkan utang riba sebesar itu bagaimana dosanya. Padahal Nabi shallallahu‘alaihiwassallam bersabda,
“ Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi).
Dan sabda Beliau yang lain, “ Pemakan riba, penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim)
Dalam sistem kapitalisme tidak peduli sumber pembiayaan apakah mengandung riba atau tidak. Tidak peduli apakah dilarang agama atau tidak. Memang sistem kapitalis membutuhkan paham sekuler, sebuah paham yang tidak mengizinkan peran agama di dalam mengelola negara.
Sering kali kita malu-malu untuk mengakui bahwa negara kita menerapkan prinsip-prinsip sekuler. Kita memasang topeng seolah islami. Sehingga ketika bercermin kita tidak melihat jati diri sesungguhnya. Sejatinya kita adalah sekuler.
Pandemi mematikan yang sedang berlansung sekarang ini mestinya menjadi refleksi bagi kita. Di balik musibah ini Allah menghendaki kita kembali kepada aturannya. Bukan malah sebaliknya.
“ Apabila telah marak perzinaan dan praktik ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim).