Categories: Fokus Ekonomi

assalim

Share

Asosiasi Pengusaha Muslim – Tidak terlalu banyak menyedot perhatian tentang sambutan debat terbuka Luhut Binsar Panjaitan oleh ekonom senior Rizal Ramli. Padahal boleh jadi sangat menarik. Bagaimana tidak, isunya soal utang negara. Sebelumnya dosen senior Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Djamester Simarmata juga siap menyambut tantangan debat Luhut Binsar Pandjaitan.

Mungkin kesan sosok Rizal Ramli yang gemar mengkritik Menteri Keuangan dan pernah mengajak debat terbuka berulang kali menyebabkan sambutannya tidak digubris. Padahal isu utang khususnya APBN adalah isu yang sangat krusial di saat seperti ini.

Mengapa? Jika kita tarik benang merah pada beberapa kejadian belakangan ini secara berurutan seolah menyimpulkan adanya kepanikan pemerintah karena Negara sedang kesulitan keuangan.

Ada berita tiba-tiba pembatalan pemberangkatan Haji tahun 2020 padahal pemerintah Arab Saudi belum memutuskan pembatalan. Berita ini disusul dengan berita penggunaan sebanyak US$600 juta atau setara Rp8,7 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS) untuk penguatan rupiah.

Mempertahankan mata uang adalah perkara sangat penting bagi negara dengan sistem ekonomi kapitalis. Indonesia yang masih banyak tergantung barang impor akan mengalami banyak kesulitan jika dollar AS terus naik. Sejak awal tahun hingga bulan April 2020 BI sudah menggelontorkan Rp 300 triliun (kompas.com, 24/3). Benar-benar bukan angka yang kecil.

Sebelumnya Jokowi juga memutuskan menaikkan iuran BPJS kelas 3 melalui Perpres no. 64 tahun 2020. Soal BBM yang tidak kunjung turun di tengah jatuhnya harga minyak dunia yang nyaris US$ 0, juga merupakan “pungutan uang rakyat” dengan bentuk yang berbeda.

Di bulan ini pula kita dikejutkan dengan keputusan penerapan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada tahun depan, 2021. Di masa pandemi, di masa ekonomi rakyat sulit, di kala daya beli merosot, pemerintah memutuskan melaksanakan Tapera dengan memotong gaji. Memang Tapera pada awal penerapannya akan menyasar ASN, TNI, dan Polri.

Kita tahu semua meski bentuknya untuk perumahan, tapi dana triliunan yang terkumpul setiap tahun pasti akan dikelola dengan berbagai macam bentuk. Tentu saja salah satunya pembelian surat berharga negara (SBN) yang tak lain ujung-ujungnya menguatkan APBN (kontan.com, 2/6).

Kita heran dan bertanya-tanya, begini amat model pemasukan negara? Kalau tidak utang, pajak, maka pungutan lain kepada rakyat untuk mengisi kas negara. Lalu di mana kekayaan alam dan sumber daya lainnya? Di sisi lain kita juga tahu bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50 persen asset nasional.

Sistem kapitalisme rusak dan menyengsarakan. Rakyat belum merasakan kemakmuran seutuhnya, beban semakin bertambah. Di sisi lain kekayaan alam seolah terkutub dan terkumpul kepada segelintir orang yang sedikitpun tidak merasakan kesulitan hidup di masa pandemi seperti sekarang. Sampai kapan kita mau mempertahankan sistem seperti ini?[] Pujo Nugroho

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts