Angka Kemiskinan Yang “Tak Diakui”
Ulasan Utama Assalim.id
Oleh: Pujo Nugroho
Assalim.id – Bank Dunia merekomendasikan kepada Indonesia untuk melakukan revisi garis kemiskinan dengan menggunakan standar paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) terbaru. Hal ini tertuang dalam laporan berjudul ‘Indonesia Poverty Assessment: Pathways Towards Economic Security’. Standar tersebut ditetapkan untuk negara dengan pendapatan menengah dengan jumlahnya yaitu 3.2 dollar AS setiap orang per harinya.
Ukuran tersebut naik dari standar PPP untuk kemiskinan ekstrem yang sekarang ini menjadi acuan yaitu sebesar Rp1.9 dollar AS setiap orang per harinya
“Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mempertimbangkan perluasan definisi kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan misalnya menggunakan garis kemiskinan internasional sebesar 3,20 juta dolar AS alih-alih garis 1,90 dolar AS yang saat ini digunakan,” kata Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen dalam konferensi pers, Selasa (9/5/2023).
Menurutnya, negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah telah menggunakan garis kemiskinan yang lebih tinggi, yaitu 3,20 dolar AS per hari. Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah dianggap perlu menaikkan standar penghitungan angka kemiskinan.
Merespon hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu belum bisa menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu, jika ukuran garis kemiskinan RI dinaikkan, 40 persen penduduk Indonesia menjadi miskin.
Standar Garis Kemiskinan Terlalu Rendah
Sebagaimana diketahui standar batas kemiskinan yang digunakan pemerintah Indonesia dengan apa yang dipakai Bank Dunia berbeda. Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistika (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dan penentuan garis kemiskinan berdasarkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
BPS menetapkan garis kemiskinan pada September 2022 sebesar Rp535.547,00/kapita/ bulan. Angka garis kemiskinan ini tergolong sangat rendah. Jika batas kemiskinan adalah Rp535.547,00/kapita/ bulan itu artinya perhari adalah Rp17.851 per orang. Itu artinya jika sehari makan sebanyak 3 kali maka satu porsinya adalah Rp5.950. Angka ini sangat kecil dan tidak logis.
Berdasarkan standar tersebut BPS menyebut persentase penduduk miskin Indonesia sebesar 9,57 persen (September 2022). Jumlahnya sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022 dan menurun 0,14 juta orang terhadap September 2021.
Dengan demikian, menurut pemerintah angka kemiskinan Indonesia secara persentase hanya satu digit. Angka ini terbilang sangat kecil. Namun, banyak kalangan menyatakan tidak sesuai realita karena kimiskinan masih banyak dijumpai di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini karena terlalu rendahnya standar garis kemiskinan yang dipakai.
Selain itu, standar garis kemiskinan yang dipakai juga dianggap tidak relevan dan rancu. Pada 2023, Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah atas. Menurut standar negara dengan kategori ini, seseorang dianggap miskin jika penghasilan atau pengeluarannya kurang dari $6,85 PPP per hari, atau sekitar Rp 1,2 juta per bulan (berdasarkan nilai tukar per $PPP 2017 Rp 5.089 dengan inflasi 13% sejak 2017).
Namun, standar kemiskinan di Indonesia justru lebih dekat dengan rata-rata negara berpendapatan rendah. Seperti disebut di atas BPS menetapkan, seseorang tergolong miskin jika pengeluarannya kurang dari Rp535.547 per bulan atau setara dengan $3,16 PPP per hari. Sementara, batas kemiskinan negara berpendapatan rendah terbaru adalah $2,15 PPP per hari.
Lucu, satu sisi ingin disebut sebagai negara berpendapatan menengah atas namun di sisi lain standar garis kemiskinannya lebih dekat kepada negara berpenghasilan rendah.
Dengan perbedaan metode dan standar garis kemiskinan antara pemerintah dan Bank Dunia inilah menciptakan disparitas angka jumlah penduduk miskin di mana seolah-olah selisihnya merupakan penduduk yang tidak diakui sebagai penduduk miskin secara statistika.
Dampak Angka Kemiskinan yang Tidak Sesuai Realita
Tidak dipungkiri bahwa kecilnya angka kemiskinan memberikan dampak citra politik kepada pemerintah. Seperti halnya pemerintah sendiri yang terkesan membanggakan kecilnya angka kemiskinan. Namun dengan standar kemiskinan yang amat rendah lalu apalah artinya bahkan mengakibatkan kebijkan yang tidak sesuai fakta.
Standar penggunaan ukuran yang rendah dalam mengukur kemiskinan memiliki konsekuensi yang serius. Penduduk yang seharusnya disebut miskin, jadinya secara statistik tidak disebut miskin. Dengan menggunakan ukuran yang rendah, banyak individu yang sebenarnya membutuhkan bantuan tersebut dapat terabaikan dan tidak mendapatkan akses yang adil terhadap sumber daya dan program-program bantuan yang diperlukan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Hal ini menciptakan ketimpangan sosial yang lebih besar dan dapat memperburuk ketidaksetaraan yang ada di masyarakat.
Dalam situasi ini, penyebaran bantuan sosial kepada penduduk miskin menjadi tidak merata. Karena mereka tidak diakui sebagai miskin berdasarkan standar yang rendah tersebut, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Sebaliknya, fokus diberikan pada individu-individu yang hanya sedikit berada di atas ambang batas kemiskinan dan terdaftar sebagai tidak miskin secara statistik. Akibatnya, orang-orang yang berada dalam kondisi yang lebih rentan dan membutuhkan bantuan paling mendesak sering kali tidak terjangkau oleh program-program bantuan sosial.
Wallahua’lam. []